Ketentuan Permohonan Pembatalan dan Penghapusan Sanksi Pajak

Ketentuan Permohonan Pembatalan dan Penghapusan Sanksi Pajak

PT Jovindo Solusi Batam telah bersertifikat resmi dan berpengalaman luas dalam menangani permasalahan perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Ketentuan permohonan pembatalan dan penghapusan sanksi pajak. Simaklah informasi berikut ini.

Di Indonesia, sistem perpajakan self-assessment telah diterapkan sejak tahun 1984, dimana wajib pajak diberikan kebebasan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan tanggung jawab perpajakannya sendiri.

Human error merupakan salah satu akibat dari penerapan sistem ini, karena penyelenggaraan yang dilakukan secara terpisah seringkali menimbulkan perbedaan penafsiran antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti kesalahan pengisian SPT, ketidaktepatan jumlah pajak yang terutang, keterlambatan pelaporan, dan lain-lain.

Sesuai dengan ketentuan dan peraturan perpajakan, Wajib Pajak yang melakukan kesalahan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif dan pidana. Namun, sebagai bagian dari pelaksanaan keadilan perpajakan, khususnya bagi Wajib Pajak yang melakukan kesalahan yang tidak disengaja, pemerintah menerapkan kebijakan pengurangan atau penghapusan denda.

Kebijakan pengurangan/penghapusan sanksi yang sering disebut dengan Sunset Policy merupakan kesediaan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengajukan permohonan penghapusan sanksi disertai dengan justifikasinya.

Landasan hukum

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.0/2015 tentang Penghapusan Sanksi Administratif Bunga didasarkan pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan mengatur mengenai permohonan penghapusan sanksi.
  • Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mengatur bahwa Wajib Pajak dapat mengurangi atau menghapus sanksi administratif (bunga, denda, kenaikan) apabila hal tersebut disebabkan oleh kesalahan Wajib Pajak dan bukan karena kesalahannya.

Apa Perbedaan Antara Pengurangan dan Penghapusan?

Setelah melakukan pembayaran pajak, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan pemeriksaan kepatuhan terhadap wajib pajak. Apabila ternyata wajib pajak tidak mematuhi aturan perpajakan yang berlaku, maka akan diberikan surat ketetapan pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP).

Wajib Pajak dapat mengirimkan surat permohonan pengurangan atau penghapusan denda apabila:

  • Wajib Pajak berpendapat bahwa perhitungan dalam STP atau SKP tidak benar. Dalam hal ini, wajib pajak dapat mengirimkan surat yang meminta pengurangan sanksi.
  • Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa sanksi yang dikenakan kepadanya tidak patut dikenakan, Wajib Pajak dapat mengajukan surat permohonan agar pembatasan tersebut dihapus.

Mekanisme Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Perpajakan

Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai peraturan terkait, maka DJP akan menerbitkan SKP (Surat Ketetapan Pajak) atau STP (Surat Tagihan Pajak) beserta sanksi administrasi yang harus dibayar.

Apabila besaran sanksi yang tercantum dalam SKP/STP salah dihitung, Wajib Pajak dapat mengirimkan surat permintaan pengurangan sanksi administratif. Sanksi administratif tidak boleh diterapkan, sehingga Wajib Pajak dapat membuat surat permohonan penghapusan sanksi administratif.

Syarat yang harus dipenuhi

Sesuai PMK No. 29/PMK.0/2015, apabila Wajib Pajak ingin mengajukan permohonan pencabutan sanksi, diharapkan memenuhi kriteria berikut:

  • 1 (satu) kali permohonan STP/SKP, Surat Keputusan Ralat, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Jika lebih dari satu surat yang diterbitkan, misalnya lebih dari satu STP, maka hanya satu surat permohonan yang dapat diajukan untuk setiap STP.
  • Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
  • Bukti Setoran Utang Pajak (SSP)
  • Diisi alasan permohonan penghapusan/pengurangan sanksi
  • Lokasi penyerahan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
  • Ditandatangani oleh Wajib Pajak atau bukan Wajib Pajak (harus melampirkan surat kuasa khusus pengacara).

Jenis sanksi administrasi pajak

1. Denda

Sanksi atas kegagalan membayar jumlah tertentu terkait dengan persyaratan pelaporan pajak. Besarnya denda ditentukan oleh pelanggaran dan aturan yang berlaku. Denda dalam UU KUP antara lain:

  • Sanksi apabila tidak menyampaikan SPT Berkala dan/atau SPT Tahunan dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 ayat 3 (pasal 7 ayat 1)
  • Sanksi bagi yang berbohong setelah diperiksa bukti permulaannya (pasal 8 ayat 3A)
  • Sanksi bagi PKP yang tidak menyampaikan faktur pajak, PKP tidak melengkapi faktur pajak secara akurat, lengkap, dan jelas sesuai peraturan perundang-undangan. PKP tidak menerbitkan tagihan pajak berdasarkan tanggal penerbitannya (pasal 14 ayat 4).
  • Sanksi apabila keberatan ditolak/dikabulkan sebagian (Pasal 25 ayat 9).
  • Sanksi apabila permohonan banding ditolak / dikabulkan sebagian (pasal 27 ayat 5D).

 

2. Bunga

Pada umumnya sanksi bunga dikenakan kepada wajib pajak yang gagal memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam UU KUP, sanksi bunga antara lain:

  • Sanksi atas kesalahan Surat Pemberitahuan Tahunan/Masa yang menyebabkan utang pajak bertambah (pasal 8)
  • Sanksi bagi pelaporan ketidakbenaran setelah dilakukan pemeriksaan sebelum diterbitkan SPHP (pasal 8 ayat 5)
  • Sanksi keterlambatan pembayaran pajak (pasal 9 ayat 2A)
  • Sanksi perpajakan atas keterlambatan pembayaran SPT Tahunan PPh (pasal 9 ayat 2B).

 

3. Kenaikan

Konsekuensi yang lebih berat yang dibebankan kepada wajib pajak, sesuai dengan istilahnya, berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar. Secara umum, pembayar pajak yang melanggar komitmen berdasarkan pasal-pasal penting rentan terhadap konsekuensi ini.

  • Sanksi atas pengungkapan SPT yang tidak tepat setelah dua tahun (pasal 8 ayat 5)
  • Sanksi penerbitan SKPKB-T (Pasal 15 ayat 2).
  • Sanksi diberikan berdasarkan Pasal 13 ayat 3 dan
  • Pasal 17C ayat 5.

Jangka Waktu Permohonan Pengurangan/Penghapusan Sanksi

Apabila surat permohonan Wajib Pajak ditolak, maka Wajib Pajak tetap dapat mengajukan permohonan penghapusan/pengurangan sanksi sebanyak satu kali berdasarkan Pasal 36 ayat 1a. Namun perlu diperhatikan, jika wajib pajak ingin mengajukan permohonan tersebut, syaratnya adalah tidak mengajukan upaya hukum lain seperti keberatan atau pembatalan SKP/STP.

Permohonan kedua harus diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah keputusan permohonan pertama. Sesuai UU KUP Pasal 36 ayat 1c, Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan keputusan atas surat permohonan wajib pajak dalam waktu paling lama 6 bulan. Apabila DJP tidak mengeluarkan keputusan dalam jangka waktu tersebut, maka permohonan tersebut dianggap disetujui oleh DJP.

Mencabut Permohonan

Apabila ditemukan kesalahan atau permohonan penghapusan/pengurangan sanksi administrasi perpajakan telah diajukan kepada KPP, Wajib Pajak dapat menarik kembali permohonan penghapusan/pengurangan sanksi administrasi perpajakan dengan cara:

  1. Permohonan ditarik kembali secara tertulis dan dalam bahasa Indonesia. Dalam skenario ini, wajib pajak juga harus memberikan penjelasan khusus atas pencabutan tersebut.
  2. Diserahkan ke KPP terdaftar.
  3. Ditandatangani oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Apabila pemohon diwakili, maka permohonannya harus disertai surat kuasa tertentu.
  4. Apabila permohonan penghapusan/pengurangan sanksi administratif dicabut, maka Wajib Pajak kehilangan kemampuan untuk mengajukan permohonan serupa.

 

Ketentuan Pengungkapan Ketidakbenaran SPT Saat Pemeriksaan Pajak

Ketentuan Pengungkapan Ketidakbenaran SPT Saat Pemeriksaan Pajak

PT Jovindo Solusi Batam akan membantu dan memberikan solusi dalam permasalahan perpajakan Anda. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Ketentuan pengungkapan ketidakbenaran SPT saat pemeriksaan pajak. Simak penjelasannya berikut ini.

Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrument yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memastikan bahwa wajib pajak telah memenuhi tanggung jawab perpajakannya. Dalam proses pemeriksaan pajak sering ditemukan kesalahan atau kekurangan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan Wajib Pajak. Dalam hal ini, dengan melaporkan pengembalian pajak yang salah pada saat pemeriksaan pajak, wajib pajak dapat memperbaiki masalah tersebut tanpa menghadapi sanksi administratif.

Dalam pemeriksaan pajak, Wajib Pajak mempunyai pilihan untuk mengungkap kesalahan atau kekurangan dalam pengisian SPT yang telah disampaikan sebelumnya, baik bagi Wajib Pajak yang sudah maupun belum membetulkan SPTnya. Pasal 9 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) mengatur pengungkapan ketidakbenaran tersebut.

Tujuan dari pengungkapan ketidakbenaran ini adalah untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada wajib pajak yang bersedia memperbaiki kesalahannya, serta untuk meningkatkan kepatuhan dan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan. Pengungkapan ketidakbenaran tersebut juga merupakan salah satu jenis sistem self-assessment, yaitu sistem perpajakan yang mengharuskan wajib pajak menghitung, membayar, dan melaporkan tanggung jawab perpajakannya sendiri.

Bagaimana ketentuan pengungkapan ketidakbenaran saat pemeriksaan pajak?

Untuk melakukan pengungkapan ketidakbenaran dalam pemeriksaan pajak, Wajib Pajak harus memenuhi ketentuan DJP, yaitu sebagai berikut:

  1. Wajib Pajak dapat menyatakan kebenaran pengisian SPT yang telah disampaikan dalam laporan tertulis tersendiri, sesuai dengan keadaan sebenarnya, sebelum pemeriksa pajak memberikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Batas waktu tersebut diperpendek dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebelumnya, batas waktu pengungkapan SPT yang tidak akurat saat pemeriksaan mungkin sebelum diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP).
  2. Wajib Pajak harus menandatangani laporan tertulis tersendiri yang memuat:
  • Perhitungan kurang pajak berdasarkan keadaan sebenarnya yang terutang;
  • Surat Setoran Pajak (SSP) untuk pelunasan pajak yang belum dibayar; Dan
  • Sanksi administratif berupa bunga (SSP).
  1. Laporan pengungkapan ketidakbenaran tersebut harus memuat data dan informasi yang lengkap dan benar mengenai kesalahan atau kekurangan yang dinyatakan oleh Wajib Pajak, serta bukti-bukti pendukung, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam pasal 61 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/ 2013 hingga PMK No.18/2021. Wajib Pajak atau kuasanya juga harus menandatangani laporan yang mengungkapkan ketidakbenaran.
  2. Membayar pajak yang tidak dibayar akibat pengungkapan ketidakbenaran, serta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tingkat bunga bulanan yang ditetapkan Menteri Keuangan, dalam jangka waktu 24 bulan.
  3. Tidak terlibat dalam penyelesaian sengketa perpajakan atau penegakan hukum perpajakan.

Apabila wajib pajak memenuhi seluruh ketentuan tersebut, maka wajib pajak dapat mengajukan pengaduan ke DJP dengan mengungkapkan ketidakbenaran yang ditemukan selama pemeriksaan pajak dengan menggunakan cara formal yang telah disediakan. Penting untuk diingat bahwa meskipun wajib pajak berinisiatif untuk mengungkap ketidakbenaran, UU HPP menggarisbawahi bahwa hal ini tidak dapat menghalangi proses pemeriksaan untuk tetap berjalan.

Apa akibat dari pengungkapan ketidakbenaran saat pemeriksaan pajak?

  • Pajak yang masih harus dibayar lebih besar atau lebih kecil;
  • Kerugian berdasarkan ketentuan perpajakan lebih besar atau lebih kecil;
  • Jumlah harta lebih besar atau lebih kecil; atau
  • Jumlah modal lebih besar atau lebih kecil selama proses pemeriksaan berlangsung.

Tergantung pada jenis dan tingkat keparahan kesalahan atau kekurangan yang dilaporkan, pengungkapan ketidakbenaran selama pemeriksaan pajak dapat bermanfaat atau merugikan wajib pajak. Apabila Wajib Pajak menemukan kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan kurang bayar pajak, maka Wajib Pajak harus membayar selisih pajak ditambah bunga sebesar tingkat bunga bulanan yang ditetapkan Menteri Keuangan dalam jangka waktu 24 bulan.

Namun, wajib pajak tidak akan menghadapi konsekuensi administratif seperti biaya pajak yang belum dibayar sebesar 2% setiap bulan, yang biasanya dikenakan jika wajib pajak gagal mengungkapkan kebohongan. Akibatnya, pelaporan kebohongan dapat menghemat uang pembayar pajak dari sanksi administratif.

Sebaliknya, apabila Wajib Pajak mengungkapkan kesalahan atau kekurangan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, maka Wajib Pajak berhak memperoleh pengembalian atau pengembalian pajak ditambah bunga sebesar tingkat bunga bulanan yang ditentukan oleh Menteri Keuangan untuk suatu jangka waktu. hingga 24 bulan. Namun, wajib pajak harus menunggu DJP menyelesaikan prosedur verifikasi dan validasi atas laporan keterbukaan yang disampaikannya. Akibatnya, pengungkapan ketidakbenaran dapat memperkuat hak wajib pajak untuk mendapatkan reparasi.

Selain itu, kebohongan saat pemeriksaan pajak juga dapat berdampak pada kerugian, harta, dan modal wajib pajak. Selisih antara penerimaan kena pajak dan biaya yang dapat dikurangkan dari pajak disebut kerugian.

Harta merupakan hak wajib pajak atas segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Selisih antara harta dan kewajiban Wajib Pajak disebut dengan modal. Apabila Wajib Pajak menemukan kesalahan atau cacat yang menyebabkan kerugian menjadi lebih kecil atau lebih besar, maka jumlah kerugian yang dapat dibayar dengan penghasilan kena pajak pada tahun berikutnya akan terpengaruh.

Namun, apabila wajib pajak menemukan kesalahan atau cacat yang menyebabkan harta menjadi lebih besar atau lebih kecil, maka nilai harta dan kewajiban wajib pajak akan terpengaruh. Apabila Wajib Pajak menemukan kekurangan atau kekurangan yang menyebabkan modal menjadi lebih besar atau lebih kecil, maka keadaan dan stabilitas keuangan Wajib Pajak akan terganggu.

Pengertian dan Kewajiban PKP Pedagang Eceran

Pengertian dan Kewajiban PKP Pedagang Eceran

PT Jovindo Solusi Batam merupakan perusahaan yang menyediakan layanan jasa konsultasi perpajakan, pembukuan, dan manajemen. Kami memiliki pengalaman luas dalam menangani permasalahan perpajakan untuk klien. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Pengertian dan kewajiban PKP pedagang eceran. Simak informasinya berikut ini.

Pedagang eceran atau retailer adalah orang atau badan usaha yang kegiatan utamanya menjual langsung kepada konsumen akhir dalam kelompok kecil. Pedagang Eceran dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam konteks perpajakan.

Definisi

Perlu diketahui bahwa PKP adalah orang pribadi atau wajib pajak badan usaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai atau dikenakan pajak dan telah dikukuhkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

PKP pedagang eceran yang menyediakan BKP dengan berbagai cara, yaitu:

  1. Melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung dari satu tujuan konsumen akhir ke tujuan konsumen lainnya.
  2. Penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada pengguna akhir tanpa menggunakan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang.
  3. Pada umumnya barang diserahkan atau diperjualbelikan secara tunai, dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa barang yang diperolehnya.

PKP pedagang eceran juga bisa mengajukan penyerahan JKP dengan berbagai cara.

  1. Melalui suatu lokasi dimana jasa diberikan langsung kepada konsumen akhir atau langsung dari satu lokasi konsumen akhir ke lokasi konsumen akhir lainnya.
  2. Dilakukan langsung kepada konsumen akhir tanpa menggunakan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang.
  3. Sebagian besar pembayaran untuk pemberian layanan dilakukan secara tunai.

Adapun PKP tidak termasuk usaha kecil dengan omset maksimal Rp 4,8 miliar. Artinya, pedagang eceran yang peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya sepanjang tahun anggaran melebihi Rp4,8 miliar harus menyatakan usahanya agar dapat dikukuhkan sebagai PKP.

Kewajiban melaporkan suatu perusahaan untuk pengukuhan sebagai PKP dipenuhi paling lambat pada akhir bulan berikutnya pada bulan dimana peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi Rp4,8 miliar.

Selanjutnya, pengertian dan kewajiban PKP bagi pedagang eceran khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 atau UU PPN dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2012. Namun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Dalam hal Mendukung Kemudahan Berusaha, pemerintah telah mengubah konsep PKP bagi pedagang eceran.

Menurut Pasal 20 PP 1/2012 s.t.d.d PP 9/2021, PKP pedagang eceran adalah PKP yang menyalurkan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir, termasuk yang dilakukan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. (PMSE).

Oleh karena itu, ketentuan peraturan tersebut mendefinisikan PKP bagi pedagang eceran lebih luas dibandingkan ketentuan sebelumnya karena mencakup operasional PMSE. Artinya, pedagang eceran kini sudah tergolong sebagai pelaku usaha yang memasok produk dan jasa kepada konsumen akhir, dan tidak hanya terbatas pada transaksi dalam bentuk cash dan carry menjangkau transaksi digital (PMSE).

Kategori

Berdasarkan kategori, pedagang eceran PKP dibedakan menjadi dua kelompok, yakni pedagang eceran yang telah memenuhi syarat menjadi PKP dan pedagang eceran yang belum memenuhi standar namun memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Perusahaan menengah/besar yang melakukan kegiatan usaha pengiriman BKP secara eceran, seperti supermarket atau toko buku besar, merupakan contoh pengusaha yang telah memenuhi syarat untuk menjadi PKP.

Disisi lain ada pula pengusaha eceran yang belum masuk kategori PKP namun memilih untuk dikukuhkan, seperti yang bekerja di toko kelontong atau toko pakaian. Pengusaha biasanya lebih memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP meskipun belum memenuhi standar agar lebih leluasa bertransaksi dan bermitra dengan PKP yang lebih besar.

Kewajiban

Pedagang eceran wajib menghitung, membayar, dan membukukan sendiri pajak penghasilan yang terutang dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan sistem self-assessment.

Apabila seorang pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, ia wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang belum dibayar dan menyetorkan pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

Selain itu, PKP pedagang eceran wajib membuat faktur pajak pedagang eceran sebagai bukti pemungutan PPN. Bon kontan, faktur penjualan, struk pembayaran dari mesin register, dan karcis atau kwitansi merupakan contoh faktur pajak untuk pedagang eceran.

Mengenal Pajak Alat Berat (PAB)

Mengenal Pajak Alat Berat (PAB)

PT Jovindo Solusi Batam adalah konsultan pajak terpercaya yang dapat membantu Anda dan menyelesaikan permasalahan perpajakan Anda. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberi informasi terkait Mengenal pajak alat berat (PAB). Berikut informasinya.

Penggunaan alat-alat berat dalam pekerjaan konstruksi tentu diperlukan dan wajib disediakan. Alat berat dapat membuat kegiatan konstruksi lebih mudah diselesaikan, sehingga proyek dapat diselesaikan lebih cepat dan mudah, dengan hasil yang memenuhi harapan. Perlu ditegaskan juga bahwa alat berat, seperti mobil pada umumnya, dikenakan pajak tersendiri.

Pajak atas kendaraan bermotor yang umumnya dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor, berbeda dengan perpajakan atas alat berat. Adapun pajak alat berat secara tegas diatur dalam suatu peraturan dan dikenal dengan Pajak Alat Berat.

Kementerian Dalam Negeri saat ini sedang menyusun Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang Pajak Alat Berat. Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Landasan Hukum Pajak Alat Berat

Alat berat merupakan salah satu objek pajak yang diatur dalam pasal 17 sampai dengan 22 UU HKPD yang mengatur tentang hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

UU HKPD berlaku sejak 5 Januari 2022. Pemberlakuan UU HKPD sekaligus menghapus ketentuan sebelumnya dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 yang sebelumnya menjadi landasan hukum pemungutan pajak daerah. Penerapan UU HKPD diharapkan dapat menjadi titik balik dalam menangani berbagai permasalahan perpajakan, yang salah satunya diatur dalam UU HKPD yaitu Pajak Alat Berat (PAB).

UU HKPD menetapkan Pajak Alat Berat sebagai bentuk pungutan pajak baru yang dikenakan oleh provinsi. Adapun keterangan lebih lanjut mengenai Pajak Alat Berat diatur dalam Pasal 17 hingga 22 UU HKPD.

Pengertian Pajak Alat Berat

Pajak Alat Berat adalah sebutan untuk suatu bentuk pajak baru yang diatur dalam UU HKPD. Menurut Pasal 1 Angka 31 UU HKPD, Pajak Alat Berat yang disingkat PAB adalah jenis pajak yang dikenakan atas kepemilikan dan/atau pengelolaan alat berat.

Alat berat yang dimaksud adalah peralatan yang dirancang untuk membantu pekerjaan konstruksi atau pekerjaan teknik sipil lainnya yang bersifat berat bila dilakukan dengan tenaga manusia, beroperasi dengan atau tanpa roda, tidak terpasang permanen, dan beroperasi pada area tertentu, termasuk namun tidak terbatas pada konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

Peraturan Pajak Alat Berat ini juga merupakan tindak lanjut dari amanah yang tertuang dalam Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XV/2017 yang mengacu pada pengujian Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Dalam putusan tersebut, alat berat bukan merupakan jenis kendaraan bermotor yang dapat dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).

Putusan MK ini relevan dengan UU PDRD yang memasukkan alat berat sebagai salah satu pengertian kendaraan bermotor yang dikenakan PKB. Dengan disahkannya UU HKPD, Pajak Alat Berat ditetapkan sebagai bentuk pajak tersendiri dengan Pajak Kendaraan Bermotor.

Pemungut Pajak Alat Berat

Pajak Alat Berat dimasukkan dalam UU HKPD sebagai jenis pajak baru yang berada di bawah kewenangan provinsi. Pajak ini fokus pada kepemilikan dan penguasaan alat berat. Namun Pajak Alat Berat tidak akan berlaku untuk semua jenis alat berat.

Objek Pajak Alat Berat

Tujuan Pajak Alat Berat adalah untuk mendorong kepemilikan dan penguasaan alat berat. Namun, sama seperti bentuk pajak lainnya, terdapat pengecualian terhadap Pajak Alat Berat.

  • Alat-alat berat yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  • Alat-alat berat yang dimiliki atau dikelola oleh kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing berdasarkan prinsip timbal balik, dan lembaga internasional yang menerima manfaat pembebasan pajak dari pemerintah.
  • Kepemilikan dan pengelolaan alat berat lainnya diatur dengan Peraturan Daerah (Perda).

Wajib Pajak dan Subjek Alat Berat

Orang pribadi atau badan usaha yang memiliki dan menguasai alat-alat berat merupakan subjek pajak Alat Berat. Sedangkan Wajib Pajak Alat Berat adalah orang pribadi atau badan usaha yang memiliki dan menguasai Alat Berat.

Dasar Pengenaan Pajak Alat Berat

Nilai jual alat berat menjadi dasar penerapan Pajak Alat Berat. Harga jualnya ditentukan oleh harga rata-rata alat berat di pasar umum. Harga rata-rata pasar umum ini dihitung menggunakan data dari beberapa sumber terpercaya pada minggu pertama bulan Desember tahun anggaran sebelumnya.

Setelah mendapat pertimbangan Menteri, penetapan dasar penerapan pajak PAB diatur dalam peraturan menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam negeri. Dasar penerapan PAB ini akan ditinjau paling lambat setiap tiga tahun sekali, dengan tetap memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.

Tarif Pajak Alat Berat

Tarif Pajak Alat Berat dibatasi sebesar 0,2%, sedangkan tarif PAB ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Adapun besaran pokok PAB yang terutang ditentukan dengan mengalikan tarif pokok PAB dengan tarif PAB.

Mekanisme Pengenaan Pajak Alat Berat

Pajak alat berat tersebut akan dipungut pada daerah yang menguasai alat berat yang dikeluarkan. Pajak Alat Berat atas kepemilikan atau penguasaan alat berat terutang mulai pada saat Wajib Pajak yang bersangkutan diakui mempunyai atau mengelola alat berat secara sah.

Pajak Alat Berat terutang untuk setiap jangka waktu kepemilikan dan pengelolaan alat berat selama 12 bulan berturut-turut. Pajak Alat Berat atas kepemilikan atau penguasaan alat berat tersebut wajib dibayar penuh dan dimuka. Apabila terjadi keadaan force majeure sehingga alat berat tidak dapat digunakan selama 12 bulan, maka Wajib Pajak yang bersangkutan dapat meminta pengembalian Pajak Alat Berat yang telah dibayar untuk bagian jangka waktu yang belum lewat.

Piutang Pendapatan

Piutang Pendapatan

PT Jovindo Solusi Batam adalah konsultan pajak terpercaya yang dapat membantu Anda menyelesaikan permasalahan perpajakan Anda. Kami bekerja secara professional dan berpengalaman luas di bidang perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait Mengenal piutang pendapatan beserta contohnya. Simak informasinya berikut ini.

Piutang pada dasarnya merupakan komponen aktiva lancar neraca. Piutang merupakan salah satu hal yang wajar yang melekat pada bisnis suatu perusahaan. Piutang pendapatan adalah salah satu dari beberapa kategori piutang.

Piutang pendapatan merupakan pendapatan yang belum diterima oleh perusahaan padahal sudah menjadi milik perusahaan dari sisi waktu. Piutang pendapatan disebut juga dengan piutang dagang atau piutang usaha. Piutang memungkinkan setiap pembeli membeli barang perusahaan dengan menimbulkan hutang. Transaksi hutang dan piutang nantinya akan dicatat dalam jurnal hutang dan piutang perusahaan.

Ciri-Ciri Piutang Pendapatan

Piutang pendapatan memiliki risiko dan manfaatnya sendiri bagi perusahaan. Jenis piutang ini akan memungkinkan perusahaan untuk menjual barangnya lebih cepat, menghindari produk disimpan di gudang dalam jangka waktu lama, dan membangun model bisnis B2C. Pelanggan juga akan dapat menerima sesuatu meskipun kondisi kas mereka tidak mencukupi untuk pembayaran.

Oleh karena itu, berikut ciri-ciri piutang pendapatan:

1. Produk Utama Perusahaan

Ciri pertama dari piutang pendapatan adalah merupakan hasil penjualan kredit produk utama perusahaan. Sedangkan piutang pinjaman pegawai dan piutang bunga termasuk dalam piutang lain-lain. Piutang timbul akibat kegiatan transaksi produk atau penggunaan jasa perusahaan Anda yang tidak dibayar secara keseluruhan atau langsung.

2. Ada Tanggal Jatuh Tempo

Tanggal jatuh tempo merupakan salah satu ciri dari piutang pendapatan kedua. Tanggal jatuh tempo umumnya diukur menggunakan dua satuan: bulan dan hari. Tanggal jatuh tempo yang dihitung per bulan akan sama dengan tanggal pembelian, namun pada bulan berikutnya.

3. Ada Nilai Jatuh Tempo

Piutang mempunyai nilai jatuh tempo selain tanggal jatuh temponya. Nilai jatuh tempo ini akan diterapkan pada pembayaran piutang yang telah melampaui tanggal jatuh temponya. Nilai ini diperoleh dari hasil penjualan barang atau jasa dan ditambah dengan nilai bunga atas piutang yang tidak dibayar tepat waktu.

4. Resiko Piutang Tak Tertagih

Piutang rentan terhadap tidak tertagihnya. Untuk mengatasinya, perusahaan biasanya akan menerapkan pemotongan tertentu kepada pihak terutang jika mereka membayar tagihan sebelum tanggal jatuh tempo.

Untuk menghindari tidak tertagihnya piutang, organisasi juga harus menyediakan fasilitas pembelian kredit. Anda mempunyai pilihan untuk meminta down payment atau mengenakan denda berupa bunga atas keterlambatan pembayaran utang. Setelah itu, jurnal penyesuaian utang macet harus dibuat untuk setiap periode akuntansi.

5. Tingkat Bunga

Suku bunga nominal juga ditangani secara berbeda berdasarkan kebijakan perusahaan. Sebelum melakukan transaksi pembelian kredit, nasabah akan diberikan informasi mengenai nominal suku bunga yang dibayarkan. Tingkat bunga akan ditentukan oleh Anda. Nasabah harus menerima pengeluaran bunga ini karena jangka waktu pembayaran yang lebih lama.

Contoh Transaksi Piutang Pendapatan

Anda dapat menggunakan contoh di bawah ini untuk lebih memahami cara melaporkan piutang pendapatan.

CV Sinar Jaya Sentosa mempunyai piutang pendapatan sebesar 50 juta rupiah pada awal Agustus 2021. Transaksi terkait piutang terjadi pada bulan Agustus, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Pembayaran piutang PT ABC sebesar 15 juta rupiah pada tanggal 10 Agustus 2021.
  2. Pada tanggal 15 Agustus 2021, CV Mekar Jaya Damai membeli barang CV Sinar Jaya Sentosa secara kredit sebesar 20 juta rupiah.
  3. PT DEF melunasi piutangnya sebesar 25 juta rupiah lebih cepat dari jadwal dan memperoleh diskon penjual sebesar 1% dari utang apabila melunasi sebelum tanggal jatuh tempo.
  4. Pada tanggal 25 Agustus, PT GHI melakukan pembayaran di muka untuk komoditas CV Sinar Jaya Sentosa sejumlah 20 juta rupiah, namun barang tersebut baru dikirim pada bulan berikutnya.

Dalam situasi ini, piutang pendapatan akan naik jika dilakukan penjualan kredit dan turun jika konsumen berhasil melunasinya.

Berdasarkan contoh di atas, pendapatan CV Sinar Jaya Sentosa pada akhir bulan Agustus adalah sebagai berikut:

Rp. 50.000.000 – Rp. 15.000.000 + Rp. 20.000.000 – Rp. 25.000.000

= Rp. 30.000.000

Sedangkan seluruh pendapatan piutang perseroan sebesar 30 juta rupiah yang akan menjadi piutang pada awal September 2021. Sedangkan transaksi 4 akan dimasukkan ke dalam pendapatan diterima dimuka yang dapat dilaporkan sebagai utang usaha.

Jurnal Piutang Pendapatan

Mengikuti contoh sebelumnya, jurnal piutang pendapatan dapat menggunakan tiga pos akun yang diantisipasi: piutang pendapatan, pengurangan penjualan, dan kas. Oleh karena itu, setiap akuntan harus mengikuti prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas akuntansi, khususnya pendapatan piutang. Selain itu, kerahasiaan data nasabah juga harus dijaga, terutama terkait utang dan piutang.

Pajak Penghasilan Pasal 22

Pajak Penghasilan Pasal 22

PT Jovindo Solusi Batam memberikan layanan konsultasi, pembukuan, dan manajemen perpajakan. Kami telah bersertifikat resmi dan berpengalaman dalam menangani permasalahan perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait pajak penghasilan pasal 22. Simak informasinya berikut ini.

Pengertian Pasal Penghasilan (PPh) Pasal 22

PPh Pasal 22 atau Pajak Penghasilan Pasal 22 dipungut atas beberapa badan usaha milik pemerintah dan swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor. Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) merupakan salah satu jenis pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap wajib pajak dan dihubungkan dengan kegiatan perdagangan barang, sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 Tahun 2008.

Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22

  1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang dikenakan PPh Pasal 22 atas impor barang;
  2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah, dan lembaga negara lainnya, sehubungan dengan pembayaran pembelian barang;
  3. Bendahara Pengeluaran adalah pembayaran atas barang-barang yang dibeli dengan metode uang persediaan (UP).
  4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat yang menerbitkan Perintah Pembayaran berdasarkan pendelegasian Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), sehubungan dengan pembayaran pengadaan produk kepada pihak ketiga yang dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung (LS);
  5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dikuasai negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara tersendiri.
  6. Industri serta eksportir, sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan untuk memperoleh barang dari pedagang pengumpul untuk keperluan industri atau ekspor.
  7. Industri atau badan usaha yang membeli komoditas pertambangan batubara, mineral logam, atau mineral bukan logam dari perusahaan atau orang yang memiliki izin usaha pertambangan. Wajib Pajak Badan atau Badan Swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 atas penjualan antara lain:

a. Badan Usaha yang bergerak dalam industri semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi, atas penjualan hasil produksi kepada penyalur dalam negeri;

b. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor untuk penjualan kendaraan bermotor dalam negeri;

c. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas untuk penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;

d. Badan usaha yang bergerak pada bidang usaha industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.

e. Pedagang Pengumpul adalah badan usaha atau perseorangan yang melakukan kegiatannya yaitu:

  • pengumpulan barang hasil hutan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
  • memasarkan barang-barang tersebut kepada perusahaan industri dan eksportir di sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.

f. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015, pemerintah menaikkan pemungut PPh Pasal 22 menjadi wajib pajak usaha yang menjual produk sangat premium.

Objek Pajak Penghasilan Pasal 22

Lihat lampiran berikut mengenai objek PPh Pasal 22 berupa impor produk mewah tertentu, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2016.

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22

1.Atas Impor

  • menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
  • non-API = 7,5% x nilai impor;
  • tidak terkendali = 7,5% x harga jual lelang.

2. BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (belum termasuk PPN dan belum final) atas barang yang dibeli oleh DJPB, Bendahara Pemerintah.

3. Penjualan hasil produksi diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan:

  • Kertas = 0,1% x PPN DPP (Tidak Final)
  • Semen = 0,25% x PPN DPP (Tidak Final)
  • Baja = 0,3% x PPN DPP (Tidak Final)
  • Otomoti = 0,45% x PPN DPP (Tidak Final)

4. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas yang menjual atau menyediakan hasil atau barang penjualan hasil produksinya adalah sebagai berikut:

  • Ketetapan pajak penghasilan terhadap distributor/agen bersifat final berdasarkan Pasal 22. Selain itu, distributor/agen bukan merupakan otoritas final.

5. Ditetapkan sebesar = 0,25% x harga beli (tidak termasuk PPN) untuk bahan yang dibeli dari pedagang pengumpul untuk keperluan industri atau ekspor.

6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir pengguna API = 0,5% x nilai impor.

7. Penjualan

  • Pesawat pribadi senilai lebih dari Rp 20.000.000.000
  • Kapal pesiar dan sejenisnya bernilai lebih dari Rp10.000.000.000,-
  • Rumah dan tanah yang harga jual atau pengalihannya lebih besar dari Rp10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
  • Apartemen, kondominium, dan bangunan serupa yang mempunyai harga jual atau pengalihan lebih besar dari Rp 10.000.000.000 dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
  • Kendaraan bermotor roda empat yang mengangkut kurang dari sepuluh orang, seperti sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi-purpose vehicle (MPV), minibus, dan sejenisnya, dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. 5% dari harga jual dikurangi PPN dan PPnBM.

8. Pemotongannya 100% lebih besar dari tarif PPh Pasal 22 bagi masyarakat yang tidak memiliki NPWP.

Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

Berikut daftar pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22:

  1. Impor dan/atau penyerahan barang yang tidak dikenakan pajak penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengecualian ini harus dicantumkan dalam Surat Keterangan Pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 dari Direktur Jenderal Pajak.
  2. Impor barang bebas bea masuk:
  • dilakukan di Kawasan Berikat (kawasan bebas bea masuk sampai barang tersebut dibebaskan untuk diimpor, diekspor, atau diimpor kembali) dan Tempat Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE), yaitu tempat penyimpanan barang dagangan karena importir tidak membayar bea masuk benar;
  • sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7 PP Nomor 6 Tahun 1969 tentang Bea Masuk, sebagaimana telah direvisi dan terakhir diperkuat dengan PP Nomor 26 Tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1973;
  • dalam bentuk pemberian hadiah;
  • untuk penelitian ilmiah.
  1. Pembayaran penyerahan barang dibebankan pada belanja negara/daerah yang jumlahnya kurang dari Rp 2.000.000,- (tidak dipecah-pecah).
  2. Pembayaran bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, produk pos, dan telepon.

 

Mengenal Jenis Pajak Yang Berlaku Untuk UMKM

Mengenal Jenis Pajak Yang Berlaku Untuk UMKM

PT Jovindo Solusi Batam siap membantu klien dan memberikan solusi terbaik atas permasalahan perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan membahas informasi terkait Mengenal jenis pajak yang berlaku untuk UMKM. Berikut informasinya.

UMKM adalah usaha dengan peredaran tertentu yang dibentuk dengan tujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan usahanya guna membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Pentingnya UMKM dalam perekonomian nasional, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU UMKM).

Definisi UMKM

Berdasarkan Pasal 1 UU UMKM, pengertian UMKM adalah kriteria usaha sebagai berikut:

  1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik perseorangan dan/atau badan usaha perseorangan yang sesuai dengan kebutuhan usaha mikro.
  2. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri dan dijalankan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung pada usaha menengah atau besar yang memenuhi kriteria usaha kecil.
  3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang dijalankan secara mandiri dan dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang suatu perusahaan dan dimiliki, dikendalikan, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari suatu perusahaan yang mempunyai jumlah aset penjualan tahunan bersih atau tertentu.
  4. Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha yang mempunyai kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan.

Menurut Pasal 6 UU UMKM, kriteria UMKM dapat mencakup modal usaha, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penggunaan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja berdasarkan kebutuhan. kriteria masing-masing sektor. bisnis. Oleh karena itu, Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Pembinaan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mengatur bahwa UMKM diklasifikasikan berdasarkan parameter permodalan usaha atau kinerja penjualan tahunan.

Berikut kriteria modal usaha UMKM:

  1. Usaha mikro mempunyai modal paling banyak Rp 1 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya berada.
  2. Usaha kecil mempunyai modal lebih dari Rp 1 miliar sampai dengan Rp 5 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya berada.
  3. Usaha menengah mempunyai modal lebih dari Rp5 miliar sampai dengan maksimal Rp10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha berada.

Sedangkan kriteria hasil penjualan UMKM sebagai berikut:

  1. Usaha mikro mempunyai penjualan tahunan sampai dengan Rp 2 miliar;
  2. Usaha kecil memiliki penjualan tahunan lebih dari Rp2 miliar sampai dengan Rp15 miliar; dan
  3. Usaha menengah memiliki penjualan tahunan lebih dari Rp15 miliar sampai dengan Rp50 miliar.

Landasan Hukum Pajak UMKM

Selain UU UMKM dan perubahannya, peraturan perpajakan bagi UMKM didasarkan pada hal-hal berikut:

  1. Undang-Undang PPh Nomor 7 Tahun 1983 stdtd Undang-Undang PPh Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU Pajak Penghasilan);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPN);
  3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU UMKM).
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Pembinaan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP 7/2021); dan
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Peraturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022).

Jenis Pajak UMKM

Ketentuan perpajakan tidak secara khusus mendefinisikan UMKM dan hanya mengatur kewajiban perpajakan bagi wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu. Pasal 57 ayat (1) PP 55/2022 mengatur batas peredaran bruto khusus yakni Rp 4,8 miliar. Jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun sejak tahun pajak sebelumnya sampai dengan tahun pajak yang bersangkutan dihitung berdasarkan peredaran bruto perusahaan secara keseluruhan, termasuk peredaran bruto dari cabang. Secara umum, jenis pajak UMKM adalah sebagai berikut:

(PPh) Pajak Penghasilan

Wajib Pajak yang mempunyai peredaran bruto tertentu disebut Wajib Pajak UMKM dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu, sesuai persyaratan Pasal 56 ayat (1) PP 55/2022. Tarif PPh final sebesar 0,5%. Setiap bulannya, pajak penghasilan final UMKM dihitung dengan mengalikan tarif final dengan peredaran brutonya. Lebih lanjut, Pasal 60 ayat (2) PP 55/2022 mengatur bahwa peredaran bruto WP perorangan perusahaan UMKM sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak dibebaskan dari Pajak Penghasilan.

Sejak berlakunya PP 23/2018, tarif final diterapkan dalam jangka waktu tertentu. Berikut timeline penerapan tarif final UMKM:

  • 7 (tujuh) tahun bagi WP UMKM orang pribadi;
  • 4 (empat) tahun pajak bagi badan WP UMKM yang berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa, atau badan usaha perseorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang; dan
  • 3 (tiga) tahun pajak bagi wajib pajak UMKM badan yang berbentuk perseroan terbatas.

PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

UU PPN mengatur aturan PPN bagi usaha kecil. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) PMK Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kecil stdd PMK Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Pajak Pengusaha kecil adalah mereka yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dalam satu tahun pajak dengan peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto kurang dari Rp4,8 miliar. Jumlah penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya adalah jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto.

Usaha kecil yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, c, f, g, dan h tidak perlu mendaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) berdasarkan ketentuan Pasal 3A ayat (1) PPN. Sebaliknya, usaha kecil mungkin memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Usaha kecil yang ingin diverifikasi sebagai PKP wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang.

Tarif PPN sebesar 11% (sebelas persen) mulai tanggal 1 April 2022 dan menjadi 12% (dua belas persen) paling lambat tanggal 1 Januari 2025. Pasal 7 ayat (1) mengatur biaya Pajak Pertambahan Nilai ekspor, PPN dipungut sebesar 0% (nol persen).

Ungkapan PPN final bagi UMKM diperkenalkan dengan disahkannya UU HPP. Ketentuan ini berlaku terhadap UU PPN Pasal 9A ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa PKP yang peredaran usahanya dalam satu (satu) tahun pajak tidak melebihi jumlah tertentu dapat memungut dan menyetorkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP sampai dengan jumlah tertentu. Jumlah khusus ini lebih rendah dari tarif PPN normal.

Kode Faktur Pajak 05 digunakan untuk menetapkan pelunasan PPN dalam jumlah tertentu. Pajak masukan yang terkait dengan penyerahan BKP dan/atau JKP tidak dapat dikembalikan. Dengan demikian, pada dasarnya PPN yang dibayarkan oleh usaha kecil sama dengan jumlah PPN produksi yang dihitung dalam jumlah tertentu. Akibatnya, tidak ada mekanisme pengkreditan PPN masukan saat menentukan besarnya PPN yang terutang pada suatu masa pajak. Namun, pemerintah belum mengesahkan peraturan turunan mengenai ketentuan besaran spesifik PPN bagi pengusaha kecil, sehingga pengusaha kecil harus menunggu peraturan turunan tersebut untuk mendapatkan kepastian hukum sebelum menerapkan skema PPN yang final.

Selanjutnya, jika usaha kecil mengajukan BKP yang tergolong mewah, maka pengusaha harus memungut PPnBM selain PPN. Sedangkan pada PPnBM hanya digunakan 1 kali (satu kali) pada saat penyerahan oleh pengusaha yang memproduksi atau mengimpor BKP yang dapat dibilang tergolong mewah.

Mengetahui Hal Yang Harus Dilakukan Ketika Dapat MAP

Mengetahui Hal Yang Harus Dilakukan Ketika Dapat MAP

PT Jovindo Solusi Batam siap melayani dan memberikan solusi terbaik atas permasalahan perpajakan klien. Kami akan bekerja secara professional, benar, akurat, dan memiliki pengalaman yang luas di bidang perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Mengetahui hal apa yang harus dilakukan ketika dapat MAP. Berikut informasinya.

Prosedur Persetujuan Bersama atau (MAP) Mutual Agreement Procedure merupakan prosedur administratif yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra. Tujuan MAP adalah untuk mencegah pajak berganda dan penghindaran pajak, serta mengatasi permasalahan yang muncul selama penerapan P3B antara kedua negara.

MAP ini menghasilkan dokumen Perjanjian Bersama sebagai hasilnya. Oleh karena itu, Perjanjian Bersama juga dapat diartikan sebagai hasil yang disepakati dalam pelaksanaan P3B oleh Pejabat Berwenang Pemerintah Indonesia dan Pejabat Berwenang Pemerintah Mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.

Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dapat mengajukan permohonan pelaksanaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak selaku Pejabat Berwenang Indonesia dalam hal perlakuan perpajakan yang dilakukan oleh Otoritas Pajak Mitra P3B tidak sesuai dengan aturan P3B. Selanjutnya, permintaan pelaksanaan dapat diajukan oleh:

  1. Warga Negara Indonesia, melalui Direktur Jenderal Pajak;
  2. Direktur Jenderal Pajak; atau
  3. Kuasa Pajak Mitra P3B melalui Pejabat Resmi Mitra P3B sesuai dengan aturan P3B.

Perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang bertentangan dengan ketentuan P3B antara lain:

a. Pengenaan pajak berganda akibat koreksi harga transfer; dan/atau

b. Perbedaan pendapat dalam menafsirkan ketentuan P3B.

Selanjutnya Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti permohonan pelaksanaan MAP dengan melakukan perundingan MAP dengan Pejabat Berwenang Mitra P3B dalam batas waktu yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Persetujuan Bersama.

Sesuai peraturan yang berlaku

Berikut tata cara yang mengatur tindak lanjut Persetujuan Bersama pada Bab V PMK Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tata Cara Persetujuan Bersama:

  • Dalam pelaksanaan MAP menghasilkan Kesepakatan Bersama sebelum surat ketetapan pajak diterbitkan, WPDN yang terlibat dalam pelaksanaan MAP wajib melakukan koreksi terhadap SPT atau mengungkapkan kesalahan pengisian SPT dengan memperhatikan hasil kesepakatan. dalam Perjanjian Bersama dalam batas waktu yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  • Dalam pelaksanaan WPDN terkait pelaksanaan MAP tidak melakukan koreksi SPT atau mengungkapkan kesalahan pengisian SPT dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6) atau dengan memperhatikan berakhirnya masa berlaku penetapan sebagaimana diatur dalam UU KUP, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dengan mempertimbangkan hasil perjanjian i
  • Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak, pelaksanaan MAP menghasilkan Kesepakatan Bersama namun tidak diajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a atau permohonan pengurangan atau pembatalan yang tidak benar. surat ketetapan pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf c, Direktur Jenderal Pajak yang sedang menjabat melakukan koreksi surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan.
  • Dalam pelaksanaan MAP dilakukan bersamaan dengan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a, atau pengajuan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf c, menghasilkan Kesepakatan Bersama sebelum dikeluarkannya surat keputusan keberatan atau pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang salah diterbitkan, Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea Cukai, Direktur Jenderal Bea Cukai, Direktur Jenderal Bea Cukai
  • Dalam pelaksanaan MAP menghasilkan Kesepakatan Bersama setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan untuk mengurangi atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf c, Direktur Jenderal Pajak yang sedang menjabat memperbaiki surat keputusan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP dengan mengambil hasil kesepakatan dalam permohonan.
  • Dalam pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan keputusan keberatan namun belum diajukan banding, atau Wajib Pajak dalam negeri yang terlibat dalam pelaksanaan MAP telah mengajukan banding namun telah ditarik kembali dan pengadilan pajak telah memberikan persetujuan tertulis atas penarikan banding tersebut, Direktur Jenderal Pajak yang sedang menjabat akan melakukan koreksi terhadap surat keputusan keberatan sesuai dengan ayat ini.
  • Apabila pelaksanaan MAP menghasilkan Kesepakatan Bersama yang mengakibatkan kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang terutang, WPDN Mitra P3B mengajukan permohonan pengembalian pajak yang tidak seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  • Dalam hal permohonan WPDN terkait pelaksanaan MAP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dapat juga dilakukan kegiatan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (5), dan (6). dilakukan.
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak memuat persyaratan tambahan yang mengatur pemenuhan tindak lanjut Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (8).

Solusi atas masalah

Terhadap kesulitan-kesulitan tersebut di atas yang dialami oleh Wajib Pajak PT ABC Indonesia dan memperhatikan PMK Nomor 49/PMK.03/2019, maka dapat diatasi dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

  • Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2016
  • Karena PT ABC Indonesia belum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk jenis Pajak Penghasilan Badan tahun 2016, Kemudian, dalam batas waktu yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, PT ABC Indonesia melakukan koreksi terhadap SPT dengan memperhatikan hasil kesepakatan dalam Perjanjian Bersama; dan
  • Selanjutnya Wajib Pajak PT ABC Indonesia dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan dalam PMK Nomor PMK-187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
  • Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Masa Pajak Desember 2016
  • Karena PT ABC Indonesia belum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Desember 2016, maka PT ABC Indonesia juga melakukan koreksi terhadap SPT dengan memperhatikan mempertanggungjawabkan hasil kesepakatan dalam Perjanjian Bersama dalam batas waktu yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan melakukan pembayaran atas kekurangan pajak yang berjumlah
  • Oleh karena itu, apabila dilakukan pemeriksaan namun terdapat MAP, tindakan pertama yang dilakukan adalah memanggil Kantor Pelayanan Pajak terdaftar untuk berkoordinasi dengan rekening perwakilan dan mengeksekusi pasal-pasal dalam MAP sesuai aturan yang berlaku.
Mengenal Tata Cara Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25

Mengenal Tata Cara Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25

 PT Jovindo Solusi Batam siap menyelesaikan permasalahan perpajakan Anda.PT Jovindo Solusi Batam telah bersertifikat resmi dan terpercaya. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Tata cara pengurangan besarnya angsuran PPh pasal 25. Berikut informasinya.

Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 merupakan salah satu kewajiban pajak masa. PPh Pasal 25 selanjutnya dapat digunakan untuk menghitung PPh tahunan. PPh Pasal 25 seringkali dihitung dengan menggunakan pajak yang terutang pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun sebelumnya. Namun Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penurunan besaran pembayaran PPh Pasal 25 dalam situasi tertentu.

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 Secara Umum

Secara umum besaran angsuran PPh Pasal 25 dihitung dengan mengalikan penghasilan bersih dengan tarif pajak. Pajak yang terutang kemudian dikurangi dengan jumlah kredit pajak, yang kemudian dibagi dua belas, atau jumlah bulan dalam tahun pajak. Pendapatan bersih yang dimaksud dalam penetapan besarnya angsuran bagi Wajib Pajak Badan adalah pendapatan bersih fiskal yang dihitung dari perhitungan pendapatan kotor dikurangi biaya-biaya untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan.

Syarat dan Tata Cara Pengajuan Pengurangan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25

Permohonan pengurangan besaran pembayaran PPh Pasal 25 dapat diajukan setelah lewat tiga bulan atau lebih suatu tahun pajak, sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000. Untuk dapat memperoleh pengurangan, Wajib Pajak harus dapat membuktikan bahwa PPh yang terutang pada tahun pajak kurang dari 75% dari PPh yang terutang sebagaimana ditentukan dalam PPh Pasal 25.

Tata cara pengajuan permohonan pengurangan besaran Pajak Penghasilan Pasal 25: adalah sebagai berikut:

1. Mengajukan permohonan pengurangan besaran pajak penghasilan berdasarkan pasal 25 tertulis.

Wajib Pajak mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar.

2. Menyertakan perhitungan PPh yang akan dibayarkan.

Wajib Pajak harus mencantumkan perhitungan pajak yang terutang berdasarkan proyeksi penghasilan yang akan diterima atau diperoleh, serta besarnya PPh Pasal 25 untuk sisa bulan tahun pajak yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan KEP-537/2000.

3. Menunggu keputusan dari KPP.

Apabila Ketua KPP tidak mengeluarkan keputusan dalam waktu satu bulan sejak diterimanya surat permohonan, maka permohonan dianggap dterima. Setelah itu, Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan peghitungannya untuk sisa bulan tahun pajak yang berlaku.

Penyesuaian Kembali Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Perlu dicatat, jika bisnis mengalami perbaikan, penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat disesuaikan kembali. Jika pada tahun pajak berjalan terjadi peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang terutang pada tahun pajak itu lebih dari 150% dari dasar penghitungan PPh berdasarkan Pasal 25, maka besarnya angsuran sisa bulan tahun pajak tersebut tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan PPh yang terutang.

Mengetahui Peran Taxologist Dalam Peningkatan Pajak

Mengetahui Peran Taxologist Dalam Peningkatan Pajak

PT Jovindo Solusi Batam merupakan perusahaan konsultan pajak yang terpercaya. PT Jovindo Solusi Batam akan membantu Anda dalam menangani permasalahan perpajakan Anda. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan berbagi informasi terkait Mengetahui peran taxologist dalam peningkatan pajak. Simak detailnya berikut ini.

Dengan kemajuan teknologi informasi dalam dunia perpajakan, muncullah profesi baru yang yakni Taxologist. Mengingat pajak merupakan sumber utama pendapatan negara, maka akan terdapat kebutuhan yang tinggi terhadap tenaga profesional perpajakan yang memiliki keterampilan dan kemampuan mengintegrasikan teknologi, khususnya di bidang perpajakan, di masa depan. Hal ini dilakukan karena berbagai alasan, termasuk kemampuan mencapai efektivitas dan efisiensi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pajak (Tax Planning) dalam suatu bisnis.

Definisi Taxologist

Taxologist adalah seorang profesional perpajakan yang memiliki kapasitas atau kompetensi dalam menggunakan teknologi digital untuk melaksanakan tanggung jawab perpajakan dengan sukses. Thomson Reuters adalah orang pertama yang memperkenalkan kata “taxologist” pada tahun 2014.

Dengan mengakui dan memberi penghargaan kepada para profesional perpajakan yang telah berkontribusi terhadap efektivitas fungsi perpajakan melalui penggunaan teknologi. Latar belakang pendidikan seorang ahli taksologi mungkin di bidang perpajakan atau teknologi informasi.

Seorang ahli taksologi harus mampu menjalankan teknologi perpajakan selain memperoleh pengetahuan tentang sistem perpajakan dan prosedur perusahaan. Seorang ahli taksologi harus memiliki berbagai bakat khusus, seperti soft skill, seperti pengetahuan manajemen dan komunikasi, agar dapat memberikan solusi dalam proses kerja dan fungsi perpajakan suatu perusahaan.

Peran Taxologist dalam Peningkatan Perpajakan

Taxologist merupakan salah satu profesi yang masih belum banyak diketahui oleh masyarakat umum di Indonesia. Padahal, ahli taxologist di Indonesia sangat dibutuhkan, misalnya untuk membantu mengatur struktur kerja di bagian pajak suatu perusahaan agar lebih efisien waktu dan otomatis. Pekerjaan di bidang perpajakan yang selama ini menumpuk dan dilakukan secara manual selama berhari-hari kini dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang lebih cepat, tepat, dan berisiko rendah.

Tugas seorang ahli taksologi dapat mencakup pengembangan sistem komputerisasi untuk mendeteksi transaksi pembayaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiskal atau pendapatan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan peraturan perpajakan terkait. Hal ini dapat dicapai tanpa memerlukan akses fisik atau hardcopy ke materi. Dengan demikian, proses pembuatan rekonsiliasi fiskal pada akhir tahun dapat diselesaikan lebih cepat karena perhitungan transaksi dan besarannya dapat disederhanakan.

Peningkatan Volume Penjualan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2017, volume penjualan ekonomi digital Tiongkok dua kali lipat dibandingkan Amerika Serikat dan hampir sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 2011. Tiongkok akhirnya merespons dengan mulai mengadopsi sistem tersebut. menerapkan Golden Tax System untuk menerapkan PPN yang memanfaatkan teknologi.

Otoritas pajak pusat dapat memantau database faktur, yang menggunakan teknologi enkripsi untuk memberi tahu administrasi secara langsung atau real time tentang transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli, dengan menggunakan golden tax system.

Teknologi sebagai salah satu faktor pendorong terciptanya ekonomi digital di Indonesia menghadapi beberapa kendala yang dihadapi pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan teknologi yang lebih dapat diandalkan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia agar mampu menyikapi dunia perpajakan yang semakin dinamis.

 

Taxologist Sebagai Profesi Baru

Taxologist yang berfungsi sebagai professional perpajakan dan unggul dalam penerapan teknologi dapat menjadi pilihan bagi pelaku bisnis di ekonomi digital. Menurut Geoff Peck (2016), prasyarat utama bagi seorang ahli taksologi adalah kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dalam fungsi perpajakan secara efektif dan efisien, dengan harapan pada akhirnya ia akan menjadi fasilitator dalam proses otomasi dan analis data di bidang perpajakan. fungsi.

Latar Belakang Pendidikan Seorang Taxologist

Latar belakang keilmuan seorang takolog dapat berasal dari latar belakang pendidikan perpajakan atau bidang teknologi dan informasi. Namun, kapasitas untuk menggunakan beragam teknologi dalam hal perpajakan, khususnya di bidang penetapan fitur perpajakan dalam sistem Enterprise Resource Planning (ERP), merupakan bakat paling signifikan dari seorang ahli taksologi.

Tidak hanya itu, latar belakang pendidikan di bidang sistem informasi, manajemen ilmu komputer, dan pemahaman komersial akan dibutuhkan untuk memulai karir sebagai ahli taksonomi. Perlu dicatat bahwa, dibandingkan dengan 20 tahun sebelumnya, terdapat perkembangan yang cukup besar di bidang perpajakan dalam 5 tahun terakhir. Kemungkinan besar juga akan terjadi perkembangan yang lebih dramatis dalam lima tahun ke depan.

Untuk beradaptasi dengan perubahan, fungsi perpajakan suatu perusahaan sebaiknya ditangani oleh seorang ahli perpajakan yang tidak hanya memiliki kemampuan teknis di bidang perpajakan tetapi juga memahami operasional bisnis dan teknologi. Seorang ahli taksologi berperan penting dalam transformasi fungsi perpajakan suatu perusahaan, yang juga dapat meningkatkan kualitas perpajakan.