Mengenal Jenis Pajak Yang Berlaku Untuk UMKM

Mengenal Jenis Pajak Yang Berlaku Untuk UMKM

PT Jovindo Solusi Batam siap membantu klien dan memberikan solusi terbaik atas permasalahan perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan membahas informasi terkait Mengenal jenis pajak yang berlaku untuk UMKM. Berikut informasinya.

UMKM adalah usaha dengan peredaran tertentu yang dibentuk dengan tujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan usahanya guna membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Pentingnya UMKM dalam perekonomian nasional, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU UMKM).

Definisi UMKM

Berdasarkan Pasal 1 UU UMKM, pengertian UMKM adalah kriteria usaha sebagai berikut:

  1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik perseorangan dan/atau badan usaha perseorangan yang sesuai dengan kebutuhan usaha mikro.
  2. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri dan dijalankan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung pada usaha menengah atau besar yang memenuhi kriteria usaha kecil.
  3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang dijalankan secara mandiri dan dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang suatu perusahaan dan dimiliki, dikendalikan, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari suatu perusahaan yang mempunyai jumlah aset penjualan tahunan bersih atau tertentu.
  4. Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha yang mempunyai kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan.

Menurut Pasal 6 UU UMKM, kriteria UMKM dapat mencakup modal usaha, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penggunaan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja berdasarkan kebutuhan. kriteria masing-masing sektor. bisnis. Oleh karena itu, Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Pembinaan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mengatur bahwa UMKM diklasifikasikan berdasarkan parameter permodalan usaha atau kinerja penjualan tahunan.

Berikut kriteria modal usaha UMKM:

  1. Usaha mikro mempunyai modal paling banyak Rp 1 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya berada.
  2. Usaha kecil mempunyai modal lebih dari Rp 1 miliar sampai dengan Rp 5 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya berada.
  3. Usaha menengah mempunyai modal lebih dari Rp5 miliar sampai dengan maksimal Rp10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha berada.

Sedangkan kriteria hasil penjualan UMKM sebagai berikut:

  1. Usaha mikro mempunyai penjualan tahunan sampai dengan Rp 2 miliar;
  2. Usaha kecil memiliki penjualan tahunan lebih dari Rp2 miliar sampai dengan Rp15 miliar; dan
  3. Usaha menengah memiliki penjualan tahunan lebih dari Rp15 miliar sampai dengan Rp50 miliar.

Landasan Hukum Pajak UMKM

Selain UU UMKM dan perubahannya, peraturan perpajakan bagi UMKM didasarkan pada hal-hal berikut:

  1. Undang-Undang PPh Nomor 7 Tahun 1983 stdtd Undang-Undang PPh Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU Pajak Penghasilan);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPN);
  3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU UMKM).
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Pembinaan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP 7/2021); dan
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Peraturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022).

Jenis Pajak UMKM

Ketentuan perpajakan tidak secara khusus mendefinisikan UMKM dan hanya mengatur kewajiban perpajakan bagi wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu. Pasal 57 ayat (1) PP 55/2022 mengatur batas peredaran bruto khusus yakni Rp 4,8 miliar. Jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun sejak tahun pajak sebelumnya sampai dengan tahun pajak yang bersangkutan dihitung berdasarkan peredaran bruto perusahaan secara keseluruhan, termasuk peredaran bruto dari cabang. Secara umum, jenis pajak UMKM adalah sebagai berikut:

(PPh) Pajak Penghasilan

Wajib Pajak yang mempunyai peredaran bruto tertentu disebut Wajib Pajak UMKM dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu, sesuai persyaratan Pasal 56 ayat (1) PP 55/2022. Tarif PPh final sebesar 0,5%. Setiap bulannya, pajak penghasilan final UMKM dihitung dengan mengalikan tarif final dengan peredaran brutonya. Lebih lanjut, Pasal 60 ayat (2) PP 55/2022 mengatur bahwa peredaran bruto WP perorangan perusahaan UMKM sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak dibebaskan dari Pajak Penghasilan.

Sejak berlakunya PP 23/2018, tarif final diterapkan dalam jangka waktu tertentu. Berikut timeline penerapan tarif final UMKM:

  • 7 (tujuh) tahun bagi WP UMKM orang pribadi;
  • 4 (empat) tahun pajak bagi badan WP UMKM yang berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa, atau badan usaha perseorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang; dan
  • 3 (tiga) tahun pajak bagi wajib pajak UMKM badan yang berbentuk perseroan terbatas.

PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

UU PPN mengatur aturan PPN bagi usaha kecil. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) PMK Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kecil stdd PMK Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Pajak Pengusaha kecil adalah mereka yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dalam satu tahun pajak dengan peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto kurang dari Rp4,8 miliar. Jumlah penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya adalah jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto.

Usaha kecil yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, c, f, g, dan h tidak perlu mendaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) berdasarkan ketentuan Pasal 3A ayat (1) PPN. Sebaliknya, usaha kecil mungkin memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Usaha kecil yang ingin diverifikasi sebagai PKP wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang.

Tarif PPN sebesar 11% (sebelas persen) mulai tanggal 1 April 2022 dan menjadi 12% (dua belas persen) paling lambat tanggal 1 Januari 2025. Pasal 7 ayat (1) mengatur biaya Pajak Pertambahan Nilai ekspor, PPN dipungut sebesar 0% (nol persen).

Ungkapan PPN final bagi UMKM diperkenalkan dengan disahkannya UU HPP. Ketentuan ini berlaku terhadap UU PPN Pasal 9A ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa PKP yang peredaran usahanya dalam satu (satu) tahun pajak tidak melebihi jumlah tertentu dapat memungut dan menyetorkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP sampai dengan jumlah tertentu. Jumlah khusus ini lebih rendah dari tarif PPN normal.

Kode Faktur Pajak 05 digunakan untuk menetapkan pelunasan PPN dalam jumlah tertentu. Pajak masukan yang terkait dengan penyerahan BKP dan/atau JKP tidak dapat dikembalikan. Dengan demikian, pada dasarnya PPN yang dibayarkan oleh usaha kecil sama dengan jumlah PPN produksi yang dihitung dalam jumlah tertentu. Akibatnya, tidak ada mekanisme pengkreditan PPN masukan saat menentukan besarnya PPN yang terutang pada suatu masa pajak. Namun, pemerintah belum mengesahkan peraturan turunan mengenai ketentuan besaran spesifik PPN bagi pengusaha kecil, sehingga pengusaha kecil harus menunggu peraturan turunan tersebut untuk mendapatkan kepastian hukum sebelum menerapkan skema PPN yang final.

Selanjutnya, jika usaha kecil mengajukan BKP yang tergolong mewah, maka pengusaha harus memungut PPnBM selain PPN. Sedangkan pada PPnBM hanya digunakan 1 kali (satu kali) pada saat penyerahan oleh pengusaha yang memproduksi atau mengimpor BKP yang dapat dibilang tergolong mewah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *