JAKARTA. Pelaku usaha merespon positif atas terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 34/2017 tentang Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah atau Bangunan. Aturan ini mulai berlaku efektif per 2 Januari lalu.
Beleid menetapkan bahwa, aset sewaan untuk perusahaan akan dikenai pajak 10% dari total pendapatan. Angka ini lebih rendah dibanding aturan sebelumnya yang menetapkan pajak sebesar 25%.
Stefanus Ridwan, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyambut baik pengurangan pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final tersebut. Maklum, selama ini, pengelola pusat perbelanjaan terbebani dengan kewajiban pajak yang besar. “Mall juga lagi susah. Sekarang ini untuk break event point itu membutuhkan waktu 10 tahun sampai 17 tahun, itu tidak masuk akal. Kenapa bisa begitu karena ada PPh final jadi sewanya berat. Kalau ini berubah mestinya akan menolong,” ujarnya kepada KONTAN, Rabu (24/1).
Selain itu, tenant juga masih dibebani dengan beragam pajak lain yang membuat komponen biaya naik, seperti listrik yang ikut meningkat. Dengan keuntungan semakin tipis, banyak peritel terpaksa memangkas jumlah toko.
Imbasnya pusat perbelanjaan semakin sepi penyewa. Belum lagi pengelola pusat perbelanjaan harus menghadapi tekanan dari bisnis belanja online yang bisa menjual barang dengan harga murah karena boleh dibilang belum terkena pajak.
“Pajak sewa sudah 10%, listrik 10% dan PPh 10%, belum lagi pajak reklame mahal banget sampai mau pasang billboard atau petunjuk saja kami tidak bisa karena pajak reklamenya besar banget,” keluh Stefanus, yang juga Presiden Direktur PT Pakuwon Jati Tbk (PWON).
Budiardjo Iduansjah, Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo) menganggap penurunan PPh final untuk persewaan tanah dan bangunan berdampak baik karena beban pajak yang ditanggung tenant cukup banyak.
Namun sejauh apa efeknya terhadap penurunan harga barang, belum bisa diperhitungkan. “Komponen terbesar kami itu sewa dan service, kedua itu sumberdaya manusia, dan ketiga listrik,” bebernya.
Atas dasar itu, Hippindo berharap, tahun ini semua komponen itu baik itu upah buruh (UMP) , service charge, listrik dan lainnya bisa mendapat keringanan.
Budiardjo berujar, pengurangan pajak sewaan menjadi semacam angin segar karena bisa memangkas beban finansial ketika kondisi peritel sedang mengencangkan ikat pinggan akibat daya beli yang melemah.
“Idealnya pajak itu 10% dari biaya operasional, itu make sense. Tahun ini, semua melakukan efisiensi. Nah, kalau pajak turun terima kasih sekali, bisa ada penghematan luar biasa,” sebut Budiardjo.
Setali tiga uang dengan perusahaan penyewaan menara juga mengapresiasi insentif pajak sewaan. Salah satunya adalah PT Visi Telekomunikasi Infrastruktur Tbk (GOLD), yang memiliki aset menara mikro dan menara makro telekomunikasi lewat anak usaha PT Permata Karya Perdana
Gilang Pramono Seto, Presiden Direktur Permata Karya Perdana menyampaikan, perusahaan ini memanfaatkan penyewaan gedung, lahan atau ruko dalam pembangunan menara. Tentu saja adanya kebijakan pengurangan pajak sewaan memiliki imbas terhadap usaha.
Namun secara jangka pendek, tentu hal ini belum akan signifikan menggenjot performa. Aturan ini baru akan berdampak signifikan dalam jangka panjang mengingat periodikal penyewaan lahan menara berlangsung cukup lama, berbeda dengan model bisnis lain.
“Masa sewa kan, tidak per tahun tetapi per lima sampai sepuluh tahun. Jadi mungkin dampaknya untuk site yang baru dibangun. Itu saja, sejauh ini, secara jangka pendek imbasnya tidak terlalu besar,” tambahnya.
Sumber: Harian Kontan