Mengetahui Cara Daftar Objek PBB Dan Cek PBB Online

Mengetahui Cara Daftar Objek PBB Dan Cek PBB Online

PT Jovindo Solusi Batam adalah konsultan pajak terpercaya dengan pengalaman yang luas dalam menangani permasalahan perpajakan. Kami bekerja secara professional dan akurat. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait Mengetahui cara daftar objek PBB dan cek PBB online. Berikut informasinya.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah sejenis pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan berdasarkan keuntungan atau kedudukan sosial ekonomi seseorang atau badan yang memiliki atau menerima manfaat darinya. Objek pajak ini dibedakan menjadi dua, yaitu objek bumi dan objek bangunan. Beberapa daerah di Indonesia saat ini telah memiliki layanan pengecekan PBB secara online sehingga memudahkan pemilik tanah dan bangunan dalam menentukan besaran pajak yang terutang.

Pajak Bumi dan Bangunan yang disebut juga PBB merupakan pajak material, artinya besarnya pajak yang terutang ditentukan oleh keadaan objeknya, yaitu bumi dan bangunan, bukan kondisi subjeknya.

Mengenal Objek PBB

Objek PBB dibagi menjadi dua kategori, yaitu objek bumi dan objek konstruksi. Diantara syarat Benda Bumi dan Benda Bangunan adalah:

  • Objek Bumi

Sawah, kebun, tanah, pekarangan, dan tambang

  • Objek Bangunan

Rumah Tinggal, Gedung Usaha, Gedung Bertingkat, Pusat Perbelanjaan, Pagar Mewah, Kolam Renang, Jalan Tol.

Dalam transaksi jual beli tanah, besarnya pajak yang dikenakan akan tergantung pada nilai jual barang pajak, harga rata-rata atau harga pasar.

NJOP objek bumi ditentukan oleh berbagai faktor antara lain letak, penggunaan, peruntukan, dan kondisi lingkungan. Sedangkan NJOP suatu bangunan ditentukan oleh bahan yang digunakan, teknik, letak, dan faktor lingkungan.

Cara Mendaftarkan Objek PBB

Bagi Anda yang ingin mendaftarkan objek PBB, baik perorangan maupun badan, dapat melakukannya di Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Penyuluhan dan Konsultasi Pajak, atau Kantor Penyuluhan dan Konsultasi Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi objek pajak yang akan anda daftar.

Minta Formulir Pemberitahuan Objek Pajak yang gratis di KPP dan KP2KP setempat. Sebelum melakukan pendaftaran objek Pajak Bumi dan Bangunan, pastikan Anda memahami hak dan kewajiban Anda sebagai pendaftar.

Bagaimana Cara Cek PBB Secara Online?

Pengecekan PBB secara online dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui situs resmi pemerintah daerah dan e-commerce.

Melalui Website Resmi Pemerintah Daerah

Uang PBB disalurkan kepada pemerintah daerah seperti provinsi atau kabupaten/kota. Oleh karena itu, setiap kota mempunyai website dimana wajib pajak dapat mengecek PBB-nya. Daftar di bawah ini mencakup beberapa daerah yang sudah menyediakan layanan PBB online.

  • DKI Jakarta: Bapenda Jakarta
  • Depok: PBB-BPHTB Depok
  • Bogor: Bappenda Kab. Bogor
  • Semarang: e-PBB Pemerintah Kota Semarang

Untuk mengetahui apakah daerah Anda sudah memiliki situs resmi pembayaran PBB, masukkan “cekPBB (spasi) nama daerah Anda” di mesin pencarian.

Cara Pembayaran PBB Online Melalui Indomaret

  • Kunjungi website com
  • Akan muncul beberapa pilihan, antara lain “Pulsa dan Paket Data”, “PLN “, “BPJS”, dan lain-lain.
  • Pilih “Selengkapnya”
  • Gerakkan mouse Anda ke tanda panah kanan hingga Anda menemukan menu “Pajak Bumi dan Bangunan” dan pilihlah.
  • Masukkan nomor objek pajak dan bayar tahun tersebut untuk melihat jumlah tagihan. Cukup pilih “bayar” jika Anda ingin terus membayar.

Cara Bayar PBB Online Melalui E-Commerce

Pembayaran e-commerce kini ditawarkan melalui Tokopedia dan Traveloka. Masuk ke aplikasi yang ingin Anda gunakan lalu klik menu PBB. Pilih tahun pajak yang Anda inginkan, masukkan nomor objek pajak, dan ketika muncul jumlah yang harus Anda bayarkan, silakan bayar menggunakan cara yang Anda suka.

Setelah Anda mengetahui cara cek tagihan dan membayar PBB secara online, pastikan untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan tepat waktu karena keterlambatan pembayaran akan dikenakan denda sebesar 2%.

Perjanjian PPh Pasal 26 Atas Premi Asuransi dan Reasuransi yang Dibayar di Luar Negeri

Perjanjian PPh Pasal 26 Atas Premi Asuransi dan Reasuransi yang Dibayar di Luar Negeri

PT Jovindo Solusi Batam adalah perusahaan konsultan pajak yang memiliki keahlian dan berpengalaman dalam menangani berbagai permasalahan perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait Perjanjian PPh pasal 26 atas premi asuransi dan reasuransi yang di bayar di luar negeri. Berikut informasinya.

Asuransi dan reasuransi, pada kenyataannya adalah dua instrumen keuangan yang berbeda namun saling berkaitan. Asuransi adalah suatu perjanjian antara dua pihak, tertanggung dan perusahaan asuransi, dimana tertanggung membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi sebagai imbalan atas perlindungan terhadap potensi kerugian.

Sementara reasuransi adalah suatu perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, dimana perusahaan asuransi membayar premi kepada perusahaan reasuransi sebagai imbalan atas perusahaan reasuransi yang mengasuransikan sebagian atau perusahaan asuransi menanggung semua risiko. Dengan demikian, reasuransi adalah asuransi bagi perusahaan asuransi.

Apa saja ketentuan asuransi dan reasuransi PPh Pasal 26?

Banyak dunia usaha dan masyarakat Indonesia yang memanfaatkan jasa asuransi dan reasuransi yang disediakan oleh perusahaan asing, baik secara langsung maupun melalui pialang. Pembayaran premi asuransi dan reasuransi dalam mata uang asing merupakan jenis transaksi yang melibatkan subjek pajak luar negeri.

Pembayaran premi asuransi dan reasuransi yang dilakukan kepada badan usaha asing dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 dan harus dipotong oleh pihak yang membayar penghasilan tersebut. Tarif pajak PPh berdasarkan Pasal 26 berbeda-beda berdasarkan jenis wajib pajak atau pemotong pajak, yaitu tertanggung, perusahaan asuransi, atau perusahaan reasuransi.

Selain itu, tarif pajak PPh Pasal 26 dapat berubah apabila Indonesia dan negara tempat subjek pajak luar negeri berkedudukan mempunyai perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty. Oleh karena itu, pemahaman terhadap persyaratan PPh Pasal 26 yang berlaku sangat penting bagi pelaku usaha yang melakukan transaksi asuransi dan reasuransi dengan pihak asing.

Berapa tarif dan potongan PPh Pasal 26?

Apabila premi asuransi dan reasuransi dibayarkan di luar negeri, pengurangan pajak penghasilan diberikan berdasarkan Pasal 26. Masa PPh Pasal 26 mewajibkan pemotong pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menyampaikan pemotongan pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Surat Pemberitahuan (SPT).

Besarnya tarif pajak yang sesuai harus diperhitungkan saat memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi yang dilakukan di luar negeri. Kecuali ditentukan lain oleh P3B antara Indonesia dan negara tempat subjek pajak luar negeri berdomisili, tarif pajak PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% dari penghasilan bersih yang diharapkan.

Besarnya perkiraan pendapatan bersih adalah jumlah pendapatan kotor dikurangi pengeluaran wajar dan terkait. Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 624 Tahun 1994 mengatur besaran laba bersih yang diantisipasi.

Terdapat tiga tarif perkiraan pendapatan neto yang berlaku dalam peraturan ini:

  • Atas premi yang dibayarkan oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri secara langsung atau melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah premi yang dibayarkan;
  • Atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri secara langsung atau melalui broker, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayarkan; atau
  • Atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan reasuransi Indonesia kepada perusahaan asuransi luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayarkan.

Jadi, dalam menghitung PPh Pasal 26 atas premi asuransi dan reasuransi yang dibayarkan di luar negeri, tarif efektifnya adalah:

  • Pembayar/pemotong adalah tertanggung = 20% x 50% = 10% x premi
  • Pembayar/pemotong sebagai Perusahaan asuransi = 20% x 10% = 2% x premi
  • Pembayar/pemotong adalah usaha reasuransi = 20% x 5% = 1% dari premi

Misalnya, pada tahun 1995, sebuah perusahaan penyewaan gedung perkantoran membayar premi sebesar Rp 1 miliar kepada perusahaan asuransi di negara lain untuk menutupi bangunan bertingkat.

Menurut KMK, pendapatan bersih perusahaan asuransi internasional diperkirakan 50% x Rp 1 miliar = Rp 500.000.000. Besarnya PPh Pasal 26 yang harus dipotong oleh korporasi pada tahun 1995 adalah: 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (10% x Rp1 miliar).

Pihak yang membayar penghasilan tersebut memberitahukan dan menyerahkan pajak yang dipotong kepada DJP setelah dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi yang dilakukan di luar negeri. Pengisian dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 26 secara elektronik melalui aplikasi e-Filing atau e-Form merupakan cara pembuatan laporan pajak.

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 26 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan setelah masa pajak berakhir. Masa pajak didefinisikan sebagai satu bulan kalender atau sebagian dari satu bulan kalender.

Pembayaran pajak dilakukan melalui Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat dibayarkan di bank atau kantor pos. Penyetoran pajak harus dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan setelah masa pajak berakhir. Yang perlu diingat, PPh Pasal 26 tidak berlaku bagi subjek pajak luar negeri yang menerima pembayaran premi asuransi dan reasuransi di luar negeri serta mempunyai perwakilan tetap (permanent establishment /PE) di Indonesia atau P3B.

PT Jovindo Solusi Batam siap membantu menangani berbagai permasalahan perpajakan Anda. Kami bekerja secara professional, akurat dan teliti. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait e-SKD: Solusi penyampaian SKD WPLN secara elektronika. Simak informasi berikut ini.

Anda wajib memotong atau menyetorkan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sesuai aturan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) jika WPLN menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) WPLN. Pemotong atau pemungut pajak dapat menyampaikan SKD WPLN secara elektronik menggunakan e-SKD.

Apa itu e-SKD?

Fasilitas P3B sebagaimana diketahui dapat memberikan keringanan atau pembebasan pajak di negara sumber, yakni negara asal penghasilan tersebut. Oleh karena itu, SKD WPLN harus diserahkan untuk menunjukkan bahwa WPLN merupakan wajib pajak di negara atau yurisdiksi tersebut.

Pemotong dapat menyampaikan SKD WPLN melalui e-SKD, yaitu aplikasi yang digunakan untuk menyampaikan SKD WPLN dengan memasukkan data SKD berdasarkan Formulir DJP, sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghindaran Persetujuan Pajak Berganda. DJP menyatakan, e-SKD dirancang dan dikembangkan untuk membantu Wajib Pajak dalam membuat data elektronik yang valid dan akurat sebagai bukti pemotongan PPh Pasal 26, serta memudahkan pengurusan SKD WPLN.

“Penyampaian SKD WPLN akan diterbitkan tanda terimanya melalui pemotong dan/atau pemungut pajak atas penyampaian SKD WPLN secara elektronik. Selanjutnya, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak meneruskan bukti penyampaian SKD WPLN kepada WPLN yang bersangkutan,” kata DJP dalam Panduan Pengguna e-SKD, seperti dikutip pajak.com, Minggu (26/11).

Apabila WPLN berbisnis dengan lembaga pemotong dan/atau pemungut pajak lainnya, WPLN selanjutnya dapat menyerahkan salinan tanda terima sebagai pengganti SKD WPLN kepada pemotong dan/atau pemungut pajak lainnya. Pemotong dan/atau pemungut pajak lainnya selanjutnya dapat melakukan pengecekan penyerahan SKD WPLN dengan memindai QR Code pada tanda terima penyampaian SKD WPLN.

Bagaimana langkah-langkah menggunakan e-SKD?

Para pemotong dan pemungut pajak dapat menggunakan aplikasi e-SKD dengan mengunjungi laman resmi DJP Online atau https://eskd.pajak.go.id. Setelah berhasil melakukan login, Anda akan ditampilkan beragam pilihan menu di halaman DJP Online.

Pastikan terlebih dahulu Anda telah memberikan akses terhadap menu profil Wajib Pajak pada program DJP Online dengan mencentang kotak “e-SKD”. Selanjutnya, Wajib Pajak dan Pemotong atau Pemungut dapat menyampaikan SKD WPLN melalui menu e-SKD.

Tampilan muka aplikasi e-SKD akan muncul pada saat Wajib Pajak memilih layanan aplikasi e-SKD. Proses penyampaian SKD WPLN diawali dengan memilih jenis Subyek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang dapat berupa lembaga perbankan atau dana pensiun, orang pribadi, bukan orang pribadi, atau badan lainnya.

Penentuan jenis SPLN harus dicermati karena akan menentukan cara Anda mengisi setiap bagian Formulir DJP. Langkah selanjutnya adalah pencatatan data menggunakan Formulir asli DJP. Formulir DJP dibagi menjadi tujuh bagian. Pengisian setiap bagian Formulir DJP ditentukan oleh jenis SPLN dan berpedoman pada sistem.

Setelah pencatatan Formulir SKD WPLN DJP selesai, dokumen akan diunggah dalam bentuk scan Formulir SKD WPLN DJP dalam bentuk salinan digital dalam format pdf. Perlu disebutkan bahwa ukuran file soft copy ini tidak boleh lebih dari 2 Megabyte.

Selain itu, wajib pajak yang menyampaikan SKD WPLN harus terlebih dahulu mengetahui lokasi file di komputer pribadi (PC) miliknya untuk mengunggah dokumen tersebut. Jika sudah, klik “Start Upload” untuk mulai mengunggah dokumen SKD WPLN. Jika dokumen SKD WPLN berhasil diupload maka akan muncul pesan “Upload PDF File Process has been done”.

Pernyataan yang dilakukan oleh pemotong dan/atau pemungut pajak selaku pihak yang menyampaikan SKD WPLN merupakan tahap terakhir. Tahapan ini dilakukan sejalan dengan sistem perpajakan Indonesia, yaitu self-assessment system.

Kemudian klik “Kirim” untuk menandakan SKD WPLN telah diserahkan dan agar sistem dapat memvalidasi seluruh data yang tercatat dan diunggah. Jika validasi berhasil maka akan muncul pesan “All data have been successfully inserted”.

Penilaian Hukum Sanksi Pajak

Penilaian Hukum Sanksi Pajak

PT Jovindo Solusi Batam siap membantu dalam menangani permasalahan perpajakan Anda. PT Jovindo Solusi Batam memiliki pengalaman luas di bidang perpajakan dan telah bersertifikat resmi.Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait Penilaian hukum sanksi pajak. Simak informasinya berikut ini.

Ketika fiskus melakukan penegakan hukum baik berupa imbauan, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, bahkan penuntutan, maka pembahasan mengenai sanksi perpajakan seakan tidak pernah berhenti. Karena sanksinya dinilai akan memberatkan Wajib Pajak (WP) dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Sekalipun terdapat ruang pengampunan terbuka bagi wajib pajak yang menggunakan sistem self-assessment untuk menjelaskan keadaan sebenarnya, namun penilaian sanksi pajak yang cukup berat harus dipertimbangkan kembali. Sanksi yang ditujukan untuk mendorong wajib pajak agar patuh sering kali dipandang sebagai bagian dari tujuan penerimaan.

Ketika Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP) disahkan, rumusan norma Pasal 27 ayat (5f) memberikan makna yang sulit diperdebatkan tentang makna persetujuan rumusan standar hukuman. Sanksi semakin memberatkan ketika WP mencoba meminta peninjauan kembali dan kemudian kalah, WP dikenakan sanksi 60 persen.

Itu sebabnya, ketika perumusan sanksi administratif sangat terkait dengan rancangan sanksi pidana, maka bahasan mengenai sanksi perpajakan menjadi semakin menarik untuk diteliti. Ketika makna rumusan norma tidak tegas, maka kedua jenis sanksi tersebut menjadi sulit untuk dipilih. Di sisi lain, keadilan dan kepastian hukum masih menjadi mimpi yang bisa dicapai.

Memahami norma undang-undang

Sekalipun pajak merupakan sumber penerimaan utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun Sulit dipenuhi jika wajib pajak tidak memahami standar (aturan) undang-undang. Karena memahami standar hukum jauh lebih penting daripada sekadar menanyakan kesadaran dan kepatuhan. Persoalan ketidakjelasan norma, khususnya metode penegakan hukum (law enforcement), yang masih dipermasalahkan, juga harus segera diatasi.

Memang benar bahwa memahami rumusan norma-norma dalam Undang-Undang ini sulit, terutama mengingat cepatnya perubahan dalam Undang-Undang sehingga menimbulkan tantangan baru dalam memaknainya. Ilustrasi sederhana konsep hukum remedium dan primum remedium, Hal tersebut belum pernah terlihat dalam rumusan aturan baik dalam UU KUP maupun UU UUHPP hingga saat ini. Pada kenyataannya rumusan aturan hukum harus bersifat jelas (lex certa) agar tidak terjadi salah tafsir dalam pelaksanaannya.

Selain itu, masyarakat menyadari bahwa sanksi pajak biasanya dikaitkan dengan kepentingan ekonomi, oleh karena itu pembahasan pajak lebih dari sekedar hukum. Pembelajaran perpajakan seringkali dianggap sebagai bagian dari hukum perekonomian, yang menurut Sri Rejeki Hartono (Johnny Ibrahim, 2009:2) merupakan rangkaian seperangkat peraturan yang mengatur tindakan perekonomian yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi.

Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan perpajakan merupakan suatu norma (aturan) yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yang mengatur berbagai kegiatan perekonomian, termasuk kepatuhan terhadap konsekuensi apabila pelaku ekonomi melakukan pelanggaran terhadap peraturan perpajakan. Secara nominal, besaran sanksi administrasi sebesar 30%, 60%, 100%, bahkan 300% mempunyai nilai ekonomi yang cukup besar bagi pendapatan negara. Jika hal ini terjadi, denda pajak dapat diterapkan berdasarkan faktor kepatuhan atau ekonomi.

Aspek ekonomis semakin terlihat ketika mempertimbangkan besaran sanksi menurut ketentuan kepabeanan, yakni denda yang ditetapkan sebesar Rp5 miliar, Sanksi pidana hingga Rp 100 miliar juga tersedia (Pasal 102 dan 102A UU 10/1995, sebagaimana diubah dengan UU 17/2006).

Jika demikian, maka tidak dapat dipungkiri bahwa politik hukum penulisan peraturan perundang-undangan seringkali didominasi oleh pola pikir yang berpusat pada kepentingan ekonomi. Dalam analisis mikronya, ahli pidana Romli Atmasasmita (2016:218-219) memberikan penilaian terhadap sanksi administrasi dan sanksi pidana, menyatakan pada hakikatnya terdapat inefisiensi yang disebabkan oleh tidak jelasnya syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tindakan administratif yang memenuhi unsur pidana.

Romli menekankan penilaian hukum terhadap sanksi, seraya menambahkan bahwa penyebab utama ketidakpastian adalah penafsiran hukum terhadap kegiatan administratif yang dikenakan sanksi administratif dan tindakan administratif yang seringkali diancam dengan sanksi pidana.

Tingkat Penegakan Hukum

Penilaian hukum terhadap sanksi perpajakan tidak dapat dipisahkan dari penegakan hukum fiskus. Masa penghukuman masa kini nampaknya mulai meninggalkan penekanan pada pengertian keadilan retributif justice (penghukuman). Keadilan restoratif (pemaafan) semakin memberikan warna penegakan hukum yang dicari berbagai pihak.

Bagaimana itu bisa terjadi dalam perpajakan?

Prinsip penyelesaian hukum pidana perpajakan di luar pengadilan telah masuk dalam aturan UU HPP. Namun, ketika muncul keadaan yang diyakini pantas mendapatkan hukuman melalui proses pengadilan, maka gagasan keadilan restoratif terkadang sulit diterapkan. Memang benar, ketika rumusan normanya tidak tepat, pilihan hukum menjadi sulit untuk dijelaskan.

Jika demikian, kita harus mempertimbangkan kembali politik hukum penetapan standar hukuman pajak. Pajak yang akan menjadi sumber utama penerimaan negara memerlukan pertimbangan yang matang agar tuntutan APBN dapat terpenuhi dan masyarakat dapat terinformasi dengan mudah memahami penyusunan standar sanksi dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

Permintaan Pengembalian Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang

Permintaan Pengembalian Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang

PT Jovindo Solusi Batam memiliki pengalaman yang luas di bidang perpajakan dan telah bersertifikat resmi. Kami telah menangani berbagai permasalahan perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Permintaan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang. Berikut informasinya.

Untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, Wajib Pajak wajib memotong, menyetor, dan mengungkapkan bukti pemotongan pajak dari pihak ketiga (mitra transaksi). Namun pada kenyataannya, tidak jarang Wajib Pajak mengalami kesalahan penghitungan atau pemotongan dari mitra transaksi.

Alasan Pengajuan Pengembalian Pajak yang Belum Jatuh Tempo Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 yang menguraikan tentang tata cara pengajuan kembali kelebihan pembayaran pajak yang belum dibayar. Sesuai PMK 187/2015, wajib pajak dapat meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak). Berikut beberapa penyebab kelebihan pembayaran pajak:

Terdapat pembayaran pajak tertentu yang tidak terutang atau tidak seharusnya terutang pajak. 1. Pembayaran pajak yang melebihi jumlah yang terhutang

2. Pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan

3. Pembayaran pajak yang tidak dibayarkan

4. Pembayaran pajak yang berkaitan dengan permintaan untuk menghentikan penyidikan perbuatan melawan hukum di bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B UU KUP yang tidak disetujui

Terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan wajib pajak terkait dengan pajak impor. Pasal 22 PPh impor, PPN impor, dan/atau PPnBM impor yang telah dibayar dan dicantumkan dalam dokumen sebagai berikut: Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Pabean Penetapan, Surat Penetapan Pabean, atau dokumen yang memuat pembatalan impor yang telah mendapat persetujuan pejabat yang berwenang, sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak.
Adanya kesalahan dalam pemotongan atau pemungutan, mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih banyak dari yang seharusnya dipotong atau dipungut. 1. Pemotongan atau pemungutan PPh dimana PPh yang dipotong atau dipungut melebihi PPh yang seharusnya dipotong atau dipungut

2. Pemotongan atau pemungutan PPh atas penghasilan bukan subjek pajak

3. Pemungutan PPN atas pengusaha tidak kena pajak yang melebihi pajak yang harus dikumpulkan; atau

4. Pemungutan PPnBM melebihi pajak yang seharusnya dipungut.

Terdapat kesalahan dalam pemotongan atau pemungutan suatu objek pajak. 1. Pemungutan atau pemotongan PPh yang tidak boleh dipotong atau dipungut

2. Pemungutan PPN yang tidak dipungut

3. Pemungutan PPnBM yang tidak dipungut

Terdapat tambahan pengurangan atau pemungutan pajak penghasilan akibat penggunaan P3B bagi Subjek Pajak Luar Negeri. Pemotongan atau pemungutan PPh yang berlebihan karena kendala pelaksanaan P3B, keterlambatan pemenuhan prosedur administrasi penerapan P3B setelah terjadi pemotongan atau pemungutan, atau Kesepakatan Bersama.

Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengembalian Pajak

Pemohon harus mengajukan permohonan pengembalian pajak secara tertulis dalam bahasa Indonesia, menandatanganinya, dan melampirkan berbagai jenis surat dan data tergantung jenis penggantian kelebihan pembayaran pajak. Apabila permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, maka permohonan tersebut harus disertai dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selanjutnya permohonan penggantian diajukan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau melalui pos/ekspedisi.

Pelaksanaan Penelitian

Berdasarkan permohonan pengembalian tersebut, Direktur Jenderal Pajak kemudian akan menyelidiki kebenaran pembayaran pajak tersebut. Direktur Jenderal Pajak dapat meminta surat-surat dan/atau keterangan kepada pemohon untuk mengetahui kebenaran pembayaran pajak. Laporan hasil penelitian kemudian akan menentukan apakah penelitian yang dimaksud dilakukan atau tidak.

Hasil penelitian

Apabila dalam laporan penelitian ditemukan adanya kelebihan pembayaran pajak yang tidak wajar, Direktur Jenderal Pajak mengirimkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Apabila Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan usaha yang tidak wajib memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka SKPLB yang diberikan NPWP dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Pada 9 digit angka pertama memuat angka 0;
  2. Pada 3 digit tercantum nomor sandi Kantor Pelayanan Pajak tempat pengajuan permohonan;
  3. dan 3 digit terakhir tercantum angka 0.

Direktur Jenderal Pajak kemudian menyampaikan surat pemberitahuan penolakan kepada pemohon apabila tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang tidak boleh terutang dalam laporan penelitian.

Ketentuan Permohonan Pembatalan dan Penghapusan Sanksi Pajak

Ketentuan Permohonan Pembatalan dan Penghapusan Sanksi Pajak

PT Jovindo Solusi Batam telah bersertifikat resmi dan berpengalaman luas dalam menangani permasalahan perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Ketentuan permohonan pembatalan dan penghapusan sanksi pajak. Simaklah informasi berikut ini.

Di Indonesia, sistem perpajakan self-assessment telah diterapkan sejak tahun 1984, dimana wajib pajak diberikan kebebasan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan tanggung jawab perpajakannya sendiri.

Human error merupakan salah satu akibat dari penerapan sistem ini, karena penyelenggaraan yang dilakukan secara terpisah seringkali menimbulkan perbedaan penafsiran antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti kesalahan pengisian SPT, ketidaktepatan jumlah pajak yang terutang, keterlambatan pelaporan, dan lain-lain.

Sesuai dengan ketentuan dan peraturan perpajakan, Wajib Pajak yang melakukan kesalahan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif dan pidana. Namun, sebagai bagian dari pelaksanaan keadilan perpajakan, khususnya bagi Wajib Pajak yang melakukan kesalahan yang tidak disengaja, pemerintah menerapkan kebijakan pengurangan atau penghapusan denda.

Kebijakan pengurangan/penghapusan sanksi yang sering disebut dengan Sunset Policy merupakan kesediaan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengajukan permohonan penghapusan sanksi disertai dengan justifikasinya.

Landasan hukum

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.0/2015 tentang Penghapusan Sanksi Administratif Bunga didasarkan pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan mengatur mengenai permohonan penghapusan sanksi.
  • Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mengatur bahwa Wajib Pajak dapat mengurangi atau menghapus sanksi administratif (bunga, denda, kenaikan) apabila hal tersebut disebabkan oleh kesalahan Wajib Pajak dan bukan karena kesalahannya.

Apa Perbedaan Antara Pengurangan dan Penghapusan?

Setelah melakukan pembayaran pajak, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan pemeriksaan kepatuhan terhadap wajib pajak. Apabila ternyata wajib pajak tidak mematuhi aturan perpajakan yang berlaku, maka akan diberikan surat ketetapan pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP).

Wajib Pajak dapat mengirimkan surat permohonan pengurangan atau penghapusan denda apabila:

  • Wajib Pajak berpendapat bahwa perhitungan dalam STP atau SKP tidak benar. Dalam hal ini, wajib pajak dapat mengirimkan surat yang meminta pengurangan sanksi.
  • Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa sanksi yang dikenakan kepadanya tidak patut dikenakan, Wajib Pajak dapat mengajukan surat permohonan agar pembatasan tersebut dihapus.

Mekanisme Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Perpajakan

Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai peraturan terkait, maka DJP akan menerbitkan SKP (Surat Ketetapan Pajak) atau STP (Surat Tagihan Pajak) beserta sanksi administrasi yang harus dibayar.

Apabila besaran sanksi yang tercantum dalam SKP/STP salah dihitung, Wajib Pajak dapat mengirimkan surat permintaan pengurangan sanksi administratif. Sanksi administratif tidak boleh diterapkan, sehingga Wajib Pajak dapat membuat surat permohonan penghapusan sanksi administratif.

Syarat yang harus dipenuhi

Sesuai PMK No. 29/PMK.0/2015, apabila Wajib Pajak ingin mengajukan permohonan pencabutan sanksi, diharapkan memenuhi kriteria berikut:

  • 1 (satu) kali permohonan STP/SKP, Surat Keputusan Ralat, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Jika lebih dari satu surat yang diterbitkan, misalnya lebih dari satu STP, maka hanya satu surat permohonan yang dapat diajukan untuk setiap STP.
  • Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
  • Bukti Setoran Utang Pajak (SSP)
  • Diisi alasan permohonan penghapusan/pengurangan sanksi
  • Lokasi penyerahan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
  • Ditandatangani oleh Wajib Pajak atau bukan Wajib Pajak (harus melampirkan surat kuasa khusus pengacara).

Jenis sanksi administrasi pajak

1. Denda

Sanksi atas kegagalan membayar jumlah tertentu terkait dengan persyaratan pelaporan pajak. Besarnya denda ditentukan oleh pelanggaran dan aturan yang berlaku. Denda dalam UU KUP antara lain:

  • Sanksi apabila tidak menyampaikan SPT Berkala dan/atau SPT Tahunan dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 ayat 3 (pasal 7 ayat 1)
  • Sanksi bagi yang berbohong setelah diperiksa bukti permulaannya (pasal 8 ayat 3A)
  • Sanksi bagi PKP yang tidak menyampaikan faktur pajak, PKP tidak melengkapi faktur pajak secara akurat, lengkap, dan jelas sesuai peraturan perundang-undangan. PKP tidak menerbitkan tagihan pajak berdasarkan tanggal penerbitannya (pasal 14 ayat 4).
  • Sanksi apabila keberatan ditolak/dikabulkan sebagian (Pasal 25 ayat 9).
  • Sanksi apabila permohonan banding ditolak / dikabulkan sebagian (pasal 27 ayat 5D).

 

2. Bunga

Pada umumnya sanksi bunga dikenakan kepada wajib pajak yang gagal memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam UU KUP, sanksi bunga antara lain:

  • Sanksi atas kesalahan Surat Pemberitahuan Tahunan/Masa yang menyebabkan utang pajak bertambah (pasal 8)
  • Sanksi bagi pelaporan ketidakbenaran setelah dilakukan pemeriksaan sebelum diterbitkan SPHP (pasal 8 ayat 5)
  • Sanksi keterlambatan pembayaran pajak (pasal 9 ayat 2A)
  • Sanksi perpajakan atas keterlambatan pembayaran SPT Tahunan PPh (pasal 9 ayat 2B).

 

3. Kenaikan

Konsekuensi yang lebih berat yang dibebankan kepada wajib pajak, sesuai dengan istilahnya, berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar. Secara umum, pembayar pajak yang melanggar komitmen berdasarkan pasal-pasal penting rentan terhadap konsekuensi ini.

  • Sanksi atas pengungkapan SPT yang tidak tepat setelah dua tahun (pasal 8 ayat 5)
  • Sanksi penerbitan SKPKB-T (Pasal 15 ayat 2).
  • Sanksi diberikan berdasarkan Pasal 13 ayat 3 dan
  • Pasal 17C ayat 5.

Jangka Waktu Permohonan Pengurangan/Penghapusan Sanksi

Apabila surat permohonan Wajib Pajak ditolak, maka Wajib Pajak tetap dapat mengajukan permohonan penghapusan/pengurangan sanksi sebanyak satu kali berdasarkan Pasal 36 ayat 1a. Namun perlu diperhatikan, jika wajib pajak ingin mengajukan permohonan tersebut, syaratnya adalah tidak mengajukan upaya hukum lain seperti keberatan atau pembatalan SKP/STP.

Permohonan kedua harus diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah keputusan permohonan pertama. Sesuai UU KUP Pasal 36 ayat 1c, Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan keputusan atas surat permohonan wajib pajak dalam waktu paling lama 6 bulan. Apabila DJP tidak mengeluarkan keputusan dalam jangka waktu tersebut, maka permohonan tersebut dianggap disetujui oleh DJP.

Mencabut Permohonan

Apabila ditemukan kesalahan atau permohonan penghapusan/pengurangan sanksi administrasi perpajakan telah diajukan kepada KPP, Wajib Pajak dapat menarik kembali permohonan penghapusan/pengurangan sanksi administrasi perpajakan dengan cara:

  1. Permohonan ditarik kembali secara tertulis dan dalam bahasa Indonesia. Dalam skenario ini, wajib pajak juga harus memberikan penjelasan khusus atas pencabutan tersebut.
  2. Diserahkan ke KPP terdaftar.
  3. Ditandatangani oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Apabila pemohon diwakili, maka permohonannya harus disertai surat kuasa tertentu.
  4. Apabila permohonan penghapusan/pengurangan sanksi administratif dicabut, maka Wajib Pajak kehilangan kemampuan untuk mengajukan permohonan serupa.

 

Ketentuan Pengungkapan Ketidakbenaran SPT Saat Pemeriksaan Pajak

Ketentuan Pengungkapan Ketidakbenaran SPT Saat Pemeriksaan Pajak

PT Jovindo Solusi Batam akan membantu dan memberikan solusi dalam permasalahan perpajakan Anda. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Ketentuan pengungkapan ketidakbenaran SPT saat pemeriksaan pajak. Simak penjelasannya berikut ini.

Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrument yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memastikan bahwa wajib pajak telah memenuhi tanggung jawab perpajakannya. Dalam proses pemeriksaan pajak sering ditemukan kesalahan atau kekurangan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan Wajib Pajak. Dalam hal ini, dengan melaporkan pengembalian pajak yang salah pada saat pemeriksaan pajak, wajib pajak dapat memperbaiki masalah tersebut tanpa menghadapi sanksi administratif.

Dalam pemeriksaan pajak, Wajib Pajak mempunyai pilihan untuk mengungkap kesalahan atau kekurangan dalam pengisian SPT yang telah disampaikan sebelumnya, baik bagi Wajib Pajak yang sudah maupun belum membetulkan SPTnya. Pasal 9 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) mengatur pengungkapan ketidakbenaran tersebut.

Tujuan dari pengungkapan ketidakbenaran ini adalah untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada wajib pajak yang bersedia memperbaiki kesalahannya, serta untuk meningkatkan kepatuhan dan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan. Pengungkapan ketidakbenaran tersebut juga merupakan salah satu jenis sistem self-assessment, yaitu sistem perpajakan yang mengharuskan wajib pajak menghitung, membayar, dan melaporkan tanggung jawab perpajakannya sendiri.

Bagaimana ketentuan pengungkapan ketidakbenaran saat pemeriksaan pajak?

Untuk melakukan pengungkapan ketidakbenaran dalam pemeriksaan pajak, Wajib Pajak harus memenuhi ketentuan DJP, yaitu sebagai berikut:

  1. Wajib Pajak dapat menyatakan kebenaran pengisian SPT yang telah disampaikan dalam laporan tertulis tersendiri, sesuai dengan keadaan sebenarnya, sebelum pemeriksa pajak memberikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Batas waktu tersebut diperpendek dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebelumnya, batas waktu pengungkapan SPT yang tidak akurat saat pemeriksaan mungkin sebelum diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP).
  2. Wajib Pajak harus menandatangani laporan tertulis tersendiri yang memuat:
  • Perhitungan kurang pajak berdasarkan keadaan sebenarnya yang terutang;
  • Surat Setoran Pajak (SSP) untuk pelunasan pajak yang belum dibayar; Dan
  • Sanksi administratif berupa bunga (SSP).
  1. Laporan pengungkapan ketidakbenaran tersebut harus memuat data dan informasi yang lengkap dan benar mengenai kesalahan atau kekurangan yang dinyatakan oleh Wajib Pajak, serta bukti-bukti pendukung, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam pasal 61 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/ 2013 hingga PMK No.18/2021. Wajib Pajak atau kuasanya juga harus menandatangani laporan yang mengungkapkan ketidakbenaran.
  2. Membayar pajak yang tidak dibayar akibat pengungkapan ketidakbenaran, serta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tingkat bunga bulanan yang ditetapkan Menteri Keuangan, dalam jangka waktu 24 bulan.
  3. Tidak terlibat dalam penyelesaian sengketa perpajakan atau penegakan hukum perpajakan.

Apabila wajib pajak memenuhi seluruh ketentuan tersebut, maka wajib pajak dapat mengajukan pengaduan ke DJP dengan mengungkapkan ketidakbenaran yang ditemukan selama pemeriksaan pajak dengan menggunakan cara formal yang telah disediakan. Penting untuk diingat bahwa meskipun wajib pajak berinisiatif untuk mengungkap ketidakbenaran, UU HPP menggarisbawahi bahwa hal ini tidak dapat menghalangi proses pemeriksaan untuk tetap berjalan.

Apa akibat dari pengungkapan ketidakbenaran saat pemeriksaan pajak?

  • Pajak yang masih harus dibayar lebih besar atau lebih kecil;
  • Kerugian berdasarkan ketentuan perpajakan lebih besar atau lebih kecil;
  • Jumlah harta lebih besar atau lebih kecil; atau
  • Jumlah modal lebih besar atau lebih kecil selama proses pemeriksaan berlangsung.

Tergantung pada jenis dan tingkat keparahan kesalahan atau kekurangan yang dilaporkan, pengungkapan ketidakbenaran selama pemeriksaan pajak dapat bermanfaat atau merugikan wajib pajak. Apabila Wajib Pajak menemukan kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan kurang bayar pajak, maka Wajib Pajak harus membayar selisih pajak ditambah bunga sebesar tingkat bunga bulanan yang ditetapkan Menteri Keuangan dalam jangka waktu 24 bulan.

Namun, wajib pajak tidak akan menghadapi konsekuensi administratif seperti biaya pajak yang belum dibayar sebesar 2% setiap bulan, yang biasanya dikenakan jika wajib pajak gagal mengungkapkan kebohongan. Akibatnya, pelaporan kebohongan dapat menghemat uang pembayar pajak dari sanksi administratif.

Sebaliknya, apabila Wajib Pajak mengungkapkan kesalahan atau kekurangan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, maka Wajib Pajak berhak memperoleh pengembalian atau pengembalian pajak ditambah bunga sebesar tingkat bunga bulanan yang ditentukan oleh Menteri Keuangan untuk suatu jangka waktu. hingga 24 bulan. Namun, wajib pajak harus menunggu DJP menyelesaikan prosedur verifikasi dan validasi atas laporan keterbukaan yang disampaikannya. Akibatnya, pengungkapan ketidakbenaran dapat memperkuat hak wajib pajak untuk mendapatkan reparasi.

Selain itu, kebohongan saat pemeriksaan pajak juga dapat berdampak pada kerugian, harta, dan modal wajib pajak. Selisih antara penerimaan kena pajak dan biaya yang dapat dikurangkan dari pajak disebut kerugian.

Harta merupakan hak wajib pajak atas segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Selisih antara harta dan kewajiban Wajib Pajak disebut dengan modal. Apabila Wajib Pajak menemukan kesalahan atau cacat yang menyebabkan kerugian menjadi lebih kecil atau lebih besar, maka jumlah kerugian yang dapat dibayar dengan penghasilan kena pajak pada tahun berikutnya akan terpengaruh.

Namun, apabila wajib pajak menemukan kesalahan atau cacat yang menyebabkan harta menjadi lebih besar atau lebih kecil, maka nilai harta dan kewajiban wajib pajak akan terpengaruh. Apabila Wajib Pajak menemukan kekurangan atau kekurangan yang menyebabkan modal menjadi lebih besar atau lebih kecil, maka keadaan dan stabilitas keuangan Wajib Pajak akan terganggu.

Pengertian dan Kewajiban PKP Pedagang Eceran

Pengertian dan Kewajiban PKP Pedagang Eceran

PT Jovindo Solusi Batam merupakan perusahaan yang menyediakan layanan jasa konsultasi perpajakan, pembukuan, dan manajemen. Kami memiliki pengalaman luas dalam menangani permasalahan perpajakan untuk klien. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Pengertian dan kewajiban PKP pedagang eceran. Simak informasinya berikut ini.

Pedagang eceran atau retailer adalah orang atau badan usaha yang kegiatan utamanya menjual langsung kepada konsumen akhir dalam kelompok kecil. Pedagang Eceran dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam konteks perpajakan.

Definisi

Perlu diketahui bahwa PKP adalah orang pribadi atau wajib pajak badan usaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai atau dikenakan pajak dan telah dikukuhkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

PKP pedagang eceran yang menyediakan BKP dengan berbagai cara, yaitu:

  1. Melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung dari satu tujuan konsumen akhir ke tujuan konsumen lainnya.
  2. Penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada pengguna akhir tanpa menggunakan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang.
  3. Pada umumnya barang diserahkan atau diperjualbelikan secara tunai, dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa barang yang diperolehnya.

PKP pedagang eceran juga bisa mengajukan penyerahan JKP dengan berbagai cara.

  1. Melalui suatu lokasi dimana jasa diberikan langsung kepada konsumen akhir atau langsung dari satu lokasi konsumen akhir ke lokasi konsumen akhir lainnya.
  2. Dilakukan langsung kepada konsumen akhir tanpa menggunakan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang.
  3. Sebagian besar pembayaran untuk pemberian layanan dilakukan secara tunai.

Adapun PKP tidak termasuk usaha kecil dengan omset maksimal Rp 4,8 miliar. Artinya, pedagang eceran yang peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya sepanjang tahun anggaran melebihi Rp4,8 miliar harus menyatakan usahanya agar dapat dikukuhkan sebagai PKP.

Kewajiban melaporkan suatu perusahaan untuk pengukuhan sebagai PKP dipenuhi paling lambat pada akhir bulan berikutnya pada bulan dimana peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi Rp4,8 miliar.

Selanjutnya, pengertian dan kewajiban PKP bagi pedagang eceran khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 atau UU PPN dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2012. Namun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Dalam hal Mendukung Kemudahan Berusaha, pemerintah telah mengubah konsep PKP bagi pedagang eceran.

Menurut Pasal 20 PP 1/2012 s.t.d.d PP 9/2021, PKP pedagang eceran adalah PKP yang menyalurkan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir, termasuk yang dilakukan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. (PMSE).

Oleh karena itu, ketentuan peraturan tersebut mendefinisikan PKP bagi pedagang eceran lebih luas dibandingkan ketentuan sebelumnya karena mencakup operasional PMSE. Artinya, pedagang eceran kini sudah tergolong sebagai pelaku usaha yang memasok produk dan jasa kepada konsumen akhir, dan tidak hanya terbatas pada transaksi dalam bentuk cash dan carry menjangkau transaksi digital (PMSE).

Kategori

Berdasarkan kategori, pedagang eceran PKP dibedakan menjadi dua kelompok, yakni pedagang eceran yang telah memenuhi syarat menjadi PKP dan pedagang eceran yang belum memenuhi standar namun memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Perusahaan menengah/besar yang melakukan kegiatan usaha pengiriman BKP secara eceran, seperti supermarket atau toko buku besar, merupakan contoh pengusaha yang telah memenuhi syarat untuk menjadi PKP.

Disisi lain ada pula pengusaha eceran yang belum masuk kategori PKP namun memilih untuk dikukuhkan, seperti yang bekerja di toko kelontong atau toko pakaian. Pengusaha biasanya lebih memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP meskipun belum memenuhi standar agar lebih leluasa bertransaksi dan bermitra dengan PKP yang lebih besar.

Kewajiban

Pedagang eceran wajib menghitung, membayar, dan membukukan sendiri pajak penghasilan yang terutang dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan sistem self-assessment.

Apabila seorang pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, ia wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang belum dibayar dan menyetorkan pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

Selain itu, PKP pedagang eceran wajib membuat faktur pajak pedagang eceran sebagai bukti pemungutan PPN. Bon kontan, faktur penjualan, struk pembayaran dari mesin register, dan karcis atau kwitansi merupakan contoh faktur pajak untuk pedagang eceran.

Mengenal Pajak Alat Berat (PAB)

Mengenal Pajak Alat Berat (PAB)

PT Jovindo Solusi Batam adalah konsultan pajak terpercaya yang dapat membantu Anda dan menyelesaikan permasalahan perpajakan Anda. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberi informasi terkait Mengenal pajak alat berat (PAB). Berikut informasinya.

Penggunaan alat-alat berat dalam pekerjaan konstruksi tentu diperlukan dan wajib disediakan. Alat berat dapat membuat kegiatan konstruksi lebih mudah diselesaikan, sehingga proyek dapat diselesaikan lebih cepat dan mudah, dengan hasil yang memenuhi harapan. Perlu ditegaskan juga bahwa alat berat, seperti mobil pada umumnya, dikenakan pajak tersendiri.

Pajak atas kendaraan bermotor yang umumnya dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor, berbeda dengan perpajakan atas alat berat. Adapun pajak alat berat secara tegas diatur dalam suatu peraturan dan dikenal dengan Pajak Alat Berat.

Kementerian Dalam Negeri saat ini sedang menyusun Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang Pajak Alat Berat. Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Landasan Hukum Pajak Alat Berat

Alat berat merupakan salah satu objek pajak yang diatur dalam pasal 17 sampai dengan 22 UU HKPD yang mengatur tentang hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

UU HKPD berlaku sejak 5 Januari 2022. Pemberlakuan UU HKPD sekaligus menghapus ketentuan sebelumnya dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 yang sebelumnya menjadi landasan hukum pemungutan pajak daerah. Penerapan UU HKPD diharapkan dapat menjadi titik balik dalam menangani berbagai permasalahan perpajakan, yang salah satunya diatur dalam UU HKPD yaitu Pajak Alat Berat (PAB).

UU HKPD menetapkan Pajak Alat Berat sebagai bentuk pungutan pajak baru yang dikenakan oleh provinsi. Adapun keterangan lebih lanjut mengenai Pajak Alat Berat diatur dalam Pasal 17 hingga 22 UU HKPD.

Pengertian Pajak Alat Berat

Pajak Alat Berat adalah sebutan untuk suatu bentuk pajak baru yang diatur dalam UU HKPD. Menurut Pasal 1 Angka 31 UU HKPD, Pajak Alat Berat yang disingkat PAB adalah jenis pajak yang dikenakan atas kepemilikan dan/atau pengelolaan alat berat.

Alat berat yang dimaksud adalah peralatan yang dirancang untuk membantu pekerjaan konstruksi atau pekerjaan teknik sipil lainnya yang bersifat berat bila dilakukan dengan tenaga manusia, beroperasi dengan atau tanpa roda, tidak terpasang permanen, dan beroperasi pada area tertentu, termasuk namun tidak terbatas pada konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

Peraturan Pajak Alat Berat ini juga merupakan tindak lanjut dari amanah yang tertuang dalam Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XV/2017 yang mengacu pada pengujian Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Dalam putusan tersebut, alat berat bukan merupakan jenis kendaraan bermotor yang dapat dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).

Putusan MK ini relevan dengan UU PDRD yang memasukkan alat berat sebagai salah satu pengertian kendaraan bermotor yang dikenakan PKB. Dengan disahkannya UU HKPD, Pajak Alat Berat ditetapkan sebagai bentuk pajak tersendiri dengan Pajak Kendaraan Bermotor.

Pemungut Pajak Alat Berat

Pajak Alat Berat dimasukkan dalam UU HKPD sebagai jenis pajak baru yang berada di bawah kewenangan provinsi. Pajak ini fokus pada kepemilikan dan penguasaan alat berat. Namun Pajak Alat Berat tidak akan berlaku untuk semua jenis alat berat.

Objek Pajak Alat Berat

Tujuan Pajak Alat Berat adalah untuk mendorong kepemilikan dan penguasaan alat berat. Namun, sama seperti bentuk pajak lainnya, terdapat pengecualian terhadap Pajak Alat Berat.

  • Alat-alat berat yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  • Alat-alat berat yang dimiliki atau dikelola oleh kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing berdasarkan prinsip timbal balik, dan lembaga internasional yang menerima manfaat pembebasan pajak dari pemerintah.
  • Kepemilikan dan pengelolaan alat berat lainnya diatur dengan Peraturan Daerah (Perda).

Wajib Pajak dan Subjek Alat Berat

Orang pribadi atau badan usaha yang memiliki dan menguasai alat-alat berat merupakan subjek pajak Alat Berat. Sedangkan Wajib Pajak Alat Berat adalah orang pribadi atau badan usaha yang memiliki dan menguasai Alat Berat.

Dasar Pengenaan Pajak Alat Berat

Nilai jual alat berat menjadi dasar penerapan Pajak Alat Berat. Harga jualnya ditentukan oleh harga rata-rata alat berat di pasar umum. Harga rata-rata pasar umum ini dihitung menggunakan data dari beberapa sumber terpercaya pada minggu pertama bulan Desember tahun anggaran sebelumnya.

Setelah mendapat pertimbangan Menteri, penetapan dasar penerapan pajak PAB diatur dalam peraturan menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam negeri. Dasar penerapan PAB ini akan ditinjau paling lambat setiap tiga tahun sekali, dengan tetap memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.

Tarif Pajak Alat Berat

Tarif Pajak Alat Berat dibatasi sebesar 0,2%, sedangkan tarif PAB ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Adapun besaran pokok PAB yang terutang ditentukan dengan mengalikan tarif pokok PAB dengan tarif PAB.

Mekanisme Pengenaan Pajak Alat Berat

Pajak alat berat tersebut akan dipungut pada daerah yang menguasai alat berat yang dikeluarkan. Pajak Alat Berat atas kepemilikan atau penguasaan alat berat terutang mulai pada saat Wajib Pajak yang bersangkutan diakui mempunyai atau mengelola alat berat secara sah.

Pajak Alat Berat terutang untuk setiap jangka waktu kepemilikan dan pengelolaan alat berat selama 12 bulan berturut-turut. Pajak Alat Berat atas kepemilikan atau penguasaan alat berat tersebut wajib dibayar penuh dan dimuka. Apabila terjadi keadaan force majeure sehingga alat berat tidak dapat digunakan selama 12 bulan, maka Wajib Pajak yang bersangkutan dapat meminta pengembalian Pajak Alat Berat yang telah dibayar untuk bagian jangka waktu yang belum lewat.

Piutang Pendapatan

Piutang Pendapatan

PT Jovindo Solusi Batam adalah konsultan pajak terpercaya yang dapat membantu Anda menyelesaikan permasalahan perpajakan Anda. Kami bekerja secara professional dan berpengalaman luas di bidang perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait Mengenal piutang pendapatan beserta contohnya. Simak informasinya berikut ini.

Piutang pada dasarnya merupakan komponen aktiva lancar neraca. Piutang merupakan salah satu hal yang wajar yang melekat pada bisnis suatu perusahaan. Piutang pendapatan adalah salah satu dari beberapa kategori piutang.

Piutang pendapatan merupakan pendapatan yang belum diterima oleh perusahaan padahal sudah menjadi milik perusahaan dari sisi waktu. Piutang pendapatan disebut juga dengan piutang dagang atau piutang usaha. Piutang memungkinkan setiap pembeli membeli barang perusahaan dengan menimbulkan hutang. Transaksi hutang dan piutang nantinya akan dicatat dalam jurnal hutang dan piutang perusahaan.

Ciri-Ciri Piutang Pendapatan

Piutang pendapatan memiliki risiko dan manfaatnya sendiri bagi perusahaan. Jenis piutang ini akan memungkinkan perusahaan untuk menjual barangnya lebih cepat, menghindari produk disimpan di gudang dalam jangka waktu lama, dan membangun model bisnis B2C. Pelanggan juga akan dapat menerima sesuatu meskipun kondisi kas mereka tidak mencukupi untuk pembayaran.

Oleh karena itu, berikut ciri-ciri piutang pendapatan:

1. Produk Utama Perusahaan

Ciri pertama dari piutang pendapatan adalah merupakan hasil penjualan kredit produk utama perusahaan. Sedangkan piutang pinjaman pegawai dan piutang bunga termasuk dalam piutang lain-lain. Piutang timbul akibat kegiatan transaksi produk atau penggunaan jasa perusahaan Anda yang tidak dibayar secara keseluruhan atau langsung.

2. Ada Tanggal Jatuh Tempo

Tanggal jatuh tempo merupakan salah satu ciri dari piutang pendapatan kedua. Tanggal jatuh tempo umumnya diukur menggunakan dua satuan: bulan dan hari. Tanggal jatuh tempo yang dihitung per bulan akan sama dengan tanggal pembelian, namun pada bulan berikutnya.

3. Ada Nilai Jatuh Tempo

Piutang mempunyai nilai jatuh tempo selain tanggal jatuh temponya. Nilai jatuh tempo ini akan diterapkan pada pembayaran piutang yang telah melampaui tanggal jatuh temponya. Nilai ini diperoleh dari hasil penjualan barang atau jasa dan ditambah dengan nilai bunga atas piutang yang tidak dibayar tepat waktu.

4. Resiko Piutang Tak Tertagih

Piutang rentan terhadap tidak tertagihnya. Untuk mengatasinya, perusahaan biasanya akan menerapkan pemotongan tertentu kepada pihak terutang jika mereka membayar tagihan sebelum tanggal jatuh tempo.

Untuk menghindari tidak tertagihnya piutang, organisasi juga harus menyediakan fasilitas pembelian kredit. Anda mempunyai pilihan untuk meminta down payment atau mengenakan denda berupa bunga atas keterlambatan pembayaran utang. Setelah itu, jurnal penyesuaian utang macet harus dibuat untuk setiap periode akuntansi.

5. Tingkat Bunga

Suku bunga nominal juga ditangani secara berbeda berdasarkan kebijakan perusahaan. Sebelum melakukan transaksi pembelian kredit, nasabah akan diberikan informasi mengenai nominal suku bunga yang dibayarkan. Tingkat bunga akan ditentukan oleh Anda. Nasabah harus menerima pengeluaran bunga ini karena jangka waktu pembayaran yang lebih lama.

Contoh Transaksi Piutang Pendapatan

Anda dapat menggunakan contoh di bawah ini untuk lebih memahami cara melaporkan piutang pendapatan.

CV Sinar Jaya Sentosa mempunyai piutang pendapatan sebesar 50 juta rupiah pada awal Agustus 2021. Transaksi terkait piutang terjadi pada bulan Agustus, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Pembayaran piutang PT ABC sebesar 15 juta rupiah pada tanggal 10 Agustus 2021.
  2. Pada tanggal 15 Agustus 2021, CV Mekar Jaya Damai membeli barang CV Sinar Jaya Sentosa secara kredit sebesar 20 juta rupiah.
  3. PT DEF melunasi piutangnya sebesar 25 juta rupiah lebih cepat dari jadwal dan memperoleh diskon penjual sebesar 1% dari utang apabila melunasi sebelum tanggal jatuh tempo.
  4. Pada tanggal 25 Agustus, PT GHI melakukan pembayaran di muka untuk komoditas CV Sinar Jaya Sentosa sejumlah 20 juta rupiah, namun barang tersebut baru dikirim pada bulan berikutnya.

Dalam situasi ini, piutang pendapatan akan naik jika dilakukan penjualan kredit dan turun jika konsumen berhasil melunasinya.

Berdasarkan contoh di atas, pendapatan CV Sinar Jaya Sentosa pada akhir bulan Agustus adalah sebagai berikut:

Rp. 50.000.000 – Rp. 15.000.000 + Rp. 20.000.000 – Rp. 25.000.000

= Rp. 30.000.000

Sedangkan seluruh pendapatan piutang perseroan sebesar 30 juta rupiah yang akan menjadi piutang pada awal September 2021. Sedangkan transaksi 4 akan dimasukkan ke dalam pendapatan diterima dimuka yang dapat dilaporkan sebagai utang usaha.

Jurnal Piutang Pendapatan

Mengikuti contoh sebelumnya, jurnal piutang pendapatan dapat menggunakan tiga pos akun yang diantisipasi: piutang pendapatan, pengurangan penjualan, dan kas. Oleh karena itu, setiap akuntan harus mengikuti prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas akuntansi, khususnya pendapatan piutang. Selain itu, kerahasiaan data nasabah juga harus dijaga, terutama terkait utang dan piutang.