PT Jovindo Solusi Batam siap membantu dalam menangani permasalahan perpajakan Anda. PT Jovindo Solusi Batam memiliki pengalaman luas di bidang perpajakan dan telah bersertifikat resmi.Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait Penilaian hukum sanksi pajak. Simak informasinya berikut ini.
Ketika fiskus melakukan penegakan hukum baik berupa imbauan, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, bahkan penuntutan, maka pembahasan mengenai sanksi perpajakan seakan tidak pernah berhenti. Karena sanksinya dinilai akan memberatkan Wajib Pajak (WP) dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Sekalipun terdapat ruang pengampunan terbuka bagi wajib pajak yang menggunakan sistem self-assessment untuk menjelaskan keadaan sebenarnya, namun penilaian sanksi pajak yang cukup berat harus dipertimbangkan kembali. Sanksi yang ditujukan untuk mendorong wajib pajak agar patuh sering kali dipandang sebagai bagian dari tujuan penerimaan.
Ketika Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP) disahkan, rumusan norma Pasal 27 ayat (5f) memberikan makna yang sulit diperdebatkan tentang makna persetujuan rumusan standar hukuman. Sanksi semakin memberatkan ketika WP mencoba meminta peninjauan kembali dan kemudian kalah, WP dikenakan sanksi 60 persen.
Itu sebabnya, ketika perumusan sanksi administratif sangat terkait dengan rancangan sanksi pidana, maka bahasan mengenai sanksi perpajakan menjadi semakin menarik untuk diteliti. Ketika makna rumusan norma tidak tegas, maka kedua jenis sanksi tersebut menjadi sulit untuk dipilih. Di sisi lain, keadilan dan kepastian hukum masih menjadi mimpi yang bisa dicapai.
Memahami norma undang-undang
Sekalipun pajak merupakan sumber penerimaan utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun Sulit dipenuhi jika wajib pajak tidak memahami standar (aturan) undang-undang. Karena memahami standar hukum jauh lebih penting daripada sekadar menanyakan kesadaran dan kepatuhan. Persoalan ketidakjelasan norma, khususnya metode penegakan hukum (law enforcement), yang masih dipermasalahkan, juga harus segera diatasi.
Memang benar bahwa memahami rumusan norma-norma dalam Undang-Undang ini sulit, terutama mengingat cepatnya perubahan dalam Undang-Undang sehingga menimbulkan tantangan baru dalam memaknainya. Ilustrasi sederhana konsep hukum remedium dan primum remedium, Hal tersebut belum pernah terlihat dalam rumusan aturan baik dalam UU KUP maupun UU UUHPP hingga saat ini. Pada kenyataannya rumusan aturan hukum harus bersifat jelas (lex certa) agar tidak terjadi salah tafsir dalam pelaksanaannya.
Selain itu, masyarakat menyadari bahwa sanksi pajak biasanya dikaitkan dengan kepentingan ekonomi, oleh karena itu pembahasan pajak lebih dari sekedar hukum. Pembelajaran perpajakan seringkali dianggap sebagai bagian dari hukum perekonomian, yang menurut Sri Rejeki Hartono (Johnny Ibrahim, 2009:2) merupakan rangkaian seperangkat peraturan yang mengatur tindakan perekonomian yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi.
Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan perpajakan merupakan suatu norma (aturan) yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yang mengatur berbagai kegiatan perekonomian, termasuk kepatuhan terhadap konsekuensi apabila pelaku ekonomi melakukan pelanggaran terhadap peraturan perpajakan. Secara nominal, besaran sanksi administrasi sebesar 30%, 60%, 100%, bahkan 300% mempunyai nilai ekonomi yang cukup besar bagi pendapatan negara. Jika hal ini terjadi, denda pajak dapat diterapkan berdasarkan faktor kepatuhan atau ekonomi.
Aspek ekonomis semakin terlihat ketika mempertimbangkan besaran sanksi menurut ketentuan kepabeanan, yakni denda yang ditetapkan sebesar Rp5 miliar, Sanksi pidana hingga Rp 100 miliar juga tersedia (Pasal 102 dan 102A UU 10/1995, sebagaimana diubah dengan UU 17/2006).
Jika demikian, maka tidak dapat dipungkiri bahwa politik hukum penulisan peraturan perundang-undangan seringkali didominasi oleh pola pikir yang berpusat pada kepentingan ekonomi. Dalam analisis mikronya, ahli pidana Romli Atmasasmita (2016:218-219) memberikan penilaian terhadap sanksi administrasi dan sanksi pidana, menyatakan pada hakikatnya terdapat inefisiensi yang disebabkan oleh tidak jelasnya syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tindakan administratif yang memenuhi unsur pidana.
Romli menekankan penilaian hukum terhadap sanksi, seraya menambahkan bahwa penyebab utama ketidakpastian adalah penafsiran hukum terhadap kegiatan administratif yang dikenakan sanksi administratif dan tindakan administratif yang seringkali diancam dengan sanksi pidana.
Tingkat Penegakan Hukum
Penilaian hukum terhadap sanksi perpajakan tidak dapat dipisahkan dari penegakan hukum fiskus. Masa penghukuman masa kini nampaknya mulai meninggalkan penekanan pada pengertian keadilan retributif justice (penghukuman). Keadilan restoratif (pemaafan) semakin memberikan warna penegakan hukum yang dicari berbagai pihak.
Bagaimana itu bisa terjadi dalam perpajakan?
Prinsip penyelesaian hukum pidana perpajakan di luar pengadilan telah masuk dalam aturan UU HPP. Namun, ketika muncul keadaan yang diyakini pantas mendapatkan hukuman melalui proses pengadilan, maka gagasan keadilan restoratif terkadang sulit diterapkan. Memang benar, ketika rumusan normanya tidak tepat, pilihan hukum menjadi sulit untuk dijelaskan.
Jika demikian, kita harus mempertimbangkan kembali politik hukum penetapan standar hukuman pajak. Pajak yang akan menjadi sumber utama penerimaan negara memerlukan pertimbangan yang matang agar tuntutan APBN dapat terpenuhi dan masyarakat dapat terinformasi dengan mudah memahami penyusunan standar sanksi dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.