Sebagai jasa Konsultan Pajak yang menyediakan layanan insurance and tax services, international tax advisory, jasa akuntansi, jasa konsultan pajak, jasa konsultan pajak dan pembukuan, jasa konsultan pajak murah, jasa konsultan pajak online, jasa konsultan pajak pribadi, jasa konsultasi pajak, dan jasa lapor spt tahunan diberbagai kota seperti kota Medan, Surabaya, Bali, Batam, Jakarta dan kota-kota lainnya yang masih berhubungan dengan dunia perpajakan. Nah, kali ini kita akan membahas mengenai Langkah dalam Menganalisis Kewajaran dalam Restrukturisasi Bisnis, mari disimak informasi dibawah ini.
Restrukturisasi usaha adalah aksi korporasi untuk merespons perubahan di lingkungan bisnis. Pada konteks transfer pricing, restrukturisasi diartikan sebagai realokasi fungsi, aset, dan risiko dari satu entitas ke entitas lain di dalam suatu grup perusahaan multinasional. Aksi ini bisa memengaruhi alokasi laba dan potensi pajak di perusahaan.
Restrukturisasi bisnis ini merupakan salah satu materi yang dibahas dalam WU—TA Advanced Transfer Pricing Programme tanggal 30 September – 3 Oktober 2019 di Singapura.
Restrukturisasi bisnis sebagai metode untuk memaksimalkan sinergi, merampingkan lini bisnis, meningkatkan efisiensi supply chain, serta menjadi media dalam suatu perencanaan pajak.
Tidak hanya itu, restrukturisasi bisnis juga memiliki risiko yang besar karena melibatkan transfer atas kepemilikan aset, baik aset berwujud maupun tidak berwujud dan restrukturisasi bisnis ini bisa mengubah rantai suplainya.
Hal ini berpengaruh pada perubahan fungsi yang dilakukan, aset yang dimiliki, dan risiko yang akan ditanggung perusahaan sampai terjadinya perubahan karakterisasi perusahaan. Dengan begitu, pengujian transaksi terkait restrukturisasi usaha penting untuk dilaksanakan.
Pembahasan tentang restrukturisasi usaha telah diperbarui yang terdapat dalam Bab IX OECD TP Guidelines 2017. Bahasan yang lebih jelas dalam dokumen ini adalah menekankan penggambaran pada transaksi melalui pre-restructuring dengan post-restructuring.
Penggambaran ini yang akan memengaruhi kompensasi dari prinsip arm’s length principle, penilaian risiko antarpihak, serta dari pemilihan metode penetapan harga transfer yang sesuai dengan transaksi ini.
Analisis restrukturisasi bisnis ini dimulai dengan penggambaran transaksi yang akurat yakni melalui kesepakatan formal antarpihak sebelum dan sesudah restrukturisasi tersebut. Hasil dari kesepakatan ini memberikan bukti bahwa peran dan tanggung jawab perusahaan itu multinasional.
Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menentukan model kompensasi seperti perubahan apa saja yang terjadi, bagaimana restrukturisasi mempengaruhi analisis fungsionalnya, alasan bisnis dan manfaat yang didapatkan dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tersebut.
Penentuan Remunerasi
Ada empat langkah yang dilaksanakan dalam menentukan remunerasi transaksi restrukturisasi bisnis. Pertama, analisis transaksi afiliasi (delineation of transaction). Dalam melakukan analisis aspek transfer pricing, langkah awalnya adalah menganalisis detail transaksi dari restrukturisasi.
Melaksanakan analisisnya terlebih dahulu dengan mengidentifikasi kondisi komersial atau keuangan dan kondisi lainnya yang tentunya masih mengarah pada transfer nilai, ini juga termasuk alasan daripada bisnis dan aturan dari sinergi dalam grup perusahahaan multinasional.
Kedua, mengalokasikan kembali risiko dan laba potensial. Pada konteks ini, laba potensial adalah laba yang diharapkan untuk masa depan. Laba potensial digunakan sebagai tujuan penilaian dalam menentukan kompensasi dalam transfer aset atau kewajaran atas ganti rugi pada penghentian atau negosiasi ulang pada perjanjian sebelumnya. Apabila pihak independen yang bersangkutan mengalami kompensasi ganti rugi, maka kompensasi itu dinyatakan sebanding.
Ketiga, transfer nilai. Restrukturisasi bisnis juga berkaitan dengan pemindahan atau transfer aset baik berwujud maupun tidak berwujud. Diisukan berkaitan dengan aset berwujud yakni mengenai penilaian dalam persediaan atau aset lain yang membuat perubahan pada karakterisasi bisnis.
Contohnya, PT W merupakan full fledge manufacturer yang melaksanakan restrukturisasi sehingga karakterisasinya menjadi toll manufacturer dan limited distributor dengan melakukan transfer aset berupa persediaan kepada pihak afiliasi.
Kondisi ini dapat menyebabkankan kebingungan tentang penilaian persediaan saat pengalihan dilakukan. Dengan begitu, dalam transisi model bisnis harus ada penyesuaian mengenai analisis kewajaraan terhadap transaksi restrukturisasi sesudah restrukturisasi dilakukan.
Selanjutnya, pengalihan aset tidak berwujud adalah objek yang mempunyai intensitas yang cukup tinggi untuk jadi objek sengketa. Aset tidak berwujud tergolong “mobile asset” yang artinya dapat dipindahkan kepemilikannya antar lintas yurisdiksi.
Proses pemindahannya, identifikasi dan penilaian mengenai aset tidak berwujud lebih sulit dibandingkan dengan aset berwujud. Sebab berdasarkan kepemilikan legalnya, tidak semua aset yang tidak berwujud dapat diakui begitu saja.
Sementara itu, dalam menganalisis kewajaran dalam restrukturisasi usaha, faktor utamanya yakni berangkat dari kepemilikan yang legal dan kesesuaian antara substansi ekonomi dengan bentuk hukum.
Keempat, penggantian atas kerugian dalam perubahan perjanjian (indemnification for change in arrangement). Berdasarkan Paragraf 9.75 OECD TP Guidelines 2017, indemnification atau yang disebut ganti rugi adalah segala jenis kompensasi yang dapat dibayarkan untuk kerugian yang dialami oleh entitas yang di restrukturisasi.
Jenis kompensasinya baik berbentuk pembayaran di muka, pembagian dalam biaya restrukturisasi, pembelian yang lebih rendah, harga dalam konteks operasi sesudah restrukturisasinya, atau bentuk-bentuk lain sebagainya. Kerugiannya juga dapat berupa provisi dan kontinjensi misalnya pemberhentian karyawan, piutang tak tertagih, penghapusan aset, pemutusan kontrak kerja, serta biaya konversi ulang dan biaya-biaya lainnya.
Sebagian negara ada yang sudah mulai menerapkan peraturan mengenai restrukturisasi bisnis ini, yaitu Jerman, China, India, Swiss, Inggris. dan Amerika Serikat. Di Jerman, terdapat pengenaan terhadap exit charges untuk mengantisipasi adanya restrukturisasi bisnis. Exit charge sebagai upaya dalam mengakomodir laba potensial yang di alihkan oleh grup perusahaan multinasional.
Berdasarkan peraturan dari berbagai negara mengenai restrukturisasi bisnis yang mengacu pada OECD TP Guidelines 2017 dan sudah diperbarui melalui Pasal IX, transaksi restrukturisasi bisnis perlu diuji terlebih dahulu baik pengalihan aset sebelum restrukturisasi maupun penyesuaian sesudah restrukturisasi.
Grup perusahaan multinasional diwajibkan untuk mempertimbangkan dan meninjau kembali keputusannya pada saat melaksanakan restrukturisasi bisnis. Grup perusahaan multinasional juga wajib memastikan bahwa restrukturisasi yang dilaksanakan mempunyai substansi ekonomi yang sama dengan bentuk hukumnya.
Tidak hanya itu, pihak independen akan menerima struktur atau skema yang ditetapkan. Hal ini dilakukan karena perubahan bisnis model yang dilakukan melalui restrukturisasi bisnis memiliki konsekuensi pajak masing-masing.