Mengenal Aspek Pajak Terhadap Bisnis Jastip

Mengenal Aspek Pajak Terhadap Bisnis Jastip

PT Jovindo Solusi Batam memiliki pengalaman luas di bidang perpajakan, termasuk jasa konsultasi pajak. Kami selalu siap menangani permasalahan perpajakan Anda dan memberikan solusi terbaik. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Mengenal aspek pajak terhadap bisnis jastip. Simak informasinya berikut ini.

Produk luar negeri seperti skincare, kosmetik, obat-obatan, tas, dan pakaian kini dapat dengan mudah dibeli di Indonesia melalui jastip (jasa titip). Bisnis jastip melakukan perdagangan, mengimpor, dan menggunakan barang dari luar Indonesia (dari luar daerah pabean).

Pajak Bisnis Jastip

Bisnis jastip tidak perlu hadir secara fisik (permanent establishment) karena dapat dilakukan melalui media sosial seperti Instagram, WhatsApp, dan LINE. Selain itu, usaha jastip juga banyak dilakukan oleh perorangan yang bepergian ke luar negeri, dan penyerahan barang titipan ke luar negeri dilakukan secara cash on delivery.

Lalu, bagaimana aspek pajak terhadap bisnis jasa titip?

Berikut aspek perpajakan atas jasa titip yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203 Tahun 2017, Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Diangkut oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut. Fasilitas impor bebas bea tidak dapat dimanfaatkan untuk alasan komersil. Berdasarkan aturan ini, perusahaan jasa kurir wajib membayar bea masuk atas barang yang melebihi US$500 dan dikenakan bea masuk sebesar 10% dari harga produk setelah dikurangi US$500.

Selain itu, pelaku usaha jasa titip memerlukan dokumen kepabeanan dan dokumen pemberitahuan (Pemberitahuan Barang Impor Khusus) yang mempunyai unsur perpajakan yaitu PPN atas impor Barang Kena Pajak sebesar 10% dan pajak penghasilan (PPh 22) dengan berbagai variasi tarif. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013, terdapat tarif PPh Pasal 22 sebesar 7,5% untuk komoditas tertentu seperti parfum, cairan, pewangi, perlengkapan rumah tangga, karpet, dan sebagainya.

Sementara itu, jika barang yang dititipkan termasuk barang mewah, maka pajak penjualan atas barang mewah seperti tas branded dan perhiasan akan dikenakan pajak, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM yang mengatur tarif pajak penjualan atas barang tersebut. barang yang tergolong barang mewah sebesar 10% dan dapat mencapai 200%.

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.044/2018 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman, batasan tidak dikenakan bea masuk tergantung pada FoB (Freight on Board) yang diterbitkan. FoB meliputi biaya-biaya yang digunakan pada saat barang dari luar negeri diangkut ke alat pengangkut ke Indonesia, biaya bongkar muat ke alat pengangkut, dan harga barang. Pajak impor tidak dikenakan jika nilai FOB tidak melebihi US$75 dan kurang dari US$1.500.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan kini memperkenalkan program Electronic Customs Declaration (ECD) yang akan memudahkan lembaga jasa titipan untuk memenuhi kewajiban perpajakan.

Bagaimana kewajban untuk pajak bisnis jasa titipan yang dijalankan oleh orang pribadi?

Kewajiban perpajakan meliputi penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak yang terutang sebagai hasil perolehan uang dari bisnis jasa titipan. Tarif pajak bagi orang yang menyelenggarakan usaha jasa penitipan dihitung sebagai berikut:

Apabila peredaran bruto dalam satu tahun pajak melebihi Rp4.800.000,- maka diperlukan pembukuan, dan tarif pajak progresif sampai dengan 30%, sesuai Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Sementara itu, Anda dapat menerapkan Peraturan Pemerintah Pajak Penghasilan Final Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha dengan Penghasilan Bruto Tertentu dengan tarif 0,5% dari peredaran/penghasilan kotor untuk peredaran bruto kurang dari Rp 4.800.000 dalam satu tahun pajak.

Wajib pajak akan membayar pajak dan menyetorkan pajak yang terutang setelah mempelajari tarif pajak dan menghitung tarif pajak. Untuk menghemat waktu, lakukan pembayaran pajak menggunakan TaxPay yang tersedia melalui situs OnlinePajak.

Untuk lapor pajak, Wajib Pajak harus melengkapi Formulir SPT (Surat Pemberitahuan) 1770. Formulir 1770 digunakan oleh Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan usaha, terutang Pajak Penghasilan Final, atau mempunyai penghasilan final yang berasal dari dalam atau luar negeri.

Mengenal dan Mengetahui Cara Hitung PPh Pasal 21 Atas Uang Pesangon

Mengenal dan Mengetahui Cara Hitung PPh Pasal 21 Atas Uang Pesangon

PT Jovindo Solusi Batam adalah Konsultan Pajak terpercaya dengan keahlian luas dalam menangani masalah perpajakan klien. Kami bekerja secara professional, teliti, dan memiliki pemahaman yang luas di bidang perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait Mengenal dan mengetahui cara hitung PPh 21 atas uang pesangon. Berikut penjelasannya.

Apa itu PPh Pasal 21 atas uang pesangon?

Penghasilan atas uang pesangon dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 (PP 68/2009), PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan bentuk apa pun, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Pajak Penghasilan. Uang pesangon, uang pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua merupakan contoh pendapatan yang dimaksud.

Sementara yang dimaksud pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan kepada pekerja oleh pemberi kerja, termasuk pengelola dana pesangon tenaga kerja, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK), termasuk uang untuk penghargaan layanan dan kompensasi hak. Pasal 21 Pemotongan PPh dilakukan oleh pemberi kerja atau badan pengelola dana pesangon dan disetorkan ke kas negara setiap bulan.

Menurut pemerintah, PPh Pasal 21 tentang pesangon bisa bersifat final atau non-final, tergantung cara pembayaran pesangon yang diberikan kepada karyawan. Berikut rinciannya:

1. Pemotongan Pajak Penghasilan Apabila uang pesangon dibayarkan seluruhnya sekaligus atau bertahap dalam jangka waktu paling lama dua tahun kalender, maka Pasal 21 bersifat final. Hal ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PP 68/2009 yang menyebutkan bahwa uang yang diterima atau diperoleh pekerja berupa pesangon, tunjangan pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, dibayarkan sekaligus adalah semacam pendapatan yang diterima atau diperoleh pegawai, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.

 

“Penghasilan berupa pesangon, tunjangan pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua dianggap dibayarkan sekaligus apabila pembayarannya sebagian atau seluruhnya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender.” sesuai hukum.

 

2. Apabila pesangon dibayarkan secara angsuran dalam jangka waktu lebih dari dua tahun kalender, pemotongan PPh Pasal 21 tidak bersifat final dan harus dilaporkan sebagai bagian dari penghasilan kena pajak tahunan. Artinya, apabila sebagian penghasilan terutang atau dibayar pada tahun ketiga dan berikutnya, maka tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan dipotong dari jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada pekerja pada tahun tersebut. setiap tahun kalender. Selain itu, jika penerima pesangon tidak memiliki NPWP, pemerintah akan mengenakan biaya tambahan sebesar 20%.

Berapa Tarif Pesangon PPh Pasal 21?

Berdasarkan PP 68/2009, besaran PPh Pasal 21 untuk santunan pesangon ditetapkan secara progresif, artinya semakin tinggi penghasilan maka semakin besar pula tarifnya, semakin tinggi tarif pajak maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar. Tarif progresif ini berbeda dengan tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan kena pajak tahunan yang diatur dalam UU Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf a.

Tarif progresif PPh Pasal 21 atas santunan pesangon ditetapkan sebagai berikut:

  • 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50 juta.
  • 5% dari pendapatan bruoto antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.
  • 15% dari pendapatan bruto antara Rp 100 juta hingga Rp 500 juta.
  • 25% dari total keuntungan di atas Rp 500 juta.

Besarnya santunan pesangon sebelum pajak disebut sebagai penghasilan bruto. Apabila uang pesangon diterima secara penuh, maka penghasilan bruto sama dengan besarnya uang pesangon. Apabila pesangon diberikan secara bertahap, maka penghasilan bruto adalah seluruh jumlah yang dibayarkan dalam satu tahun takwim.

Bagaimana cara hitung PPh Pasal 21 atas pesangon?

Wajib Pajak harus menyesuaikan cara pembayaran pesangon, baik dilakukan sekaligus atau bertahap selama lebih dari dua tahun, untuk menentukan pajak yang terutang. Berikut ini contohnya:

  1. Contoh penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas uang pesangon sekaligus.

Bapak Surya menghabiskan 30 tahun sebagai karyawan tetap di PT Bersinar Maju. Dengan dibentuknya Dana Pensiun PT Bersinar Maju, PT Bersinar Maju telah menetapkan program pensiun bagi seluruh pekerjanya. Pak Surya mendapat tawaran pensiun dini dari perusahaan pada Januari 2021 dengan besaran pesangon sebesar Rp300 juta.

Penghasilan Bruto = Rp 300.000.000

Pasal 21 UU Pajak Penghasilan terutang:

0% x Rp 50.000.000 =Rp 0

5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000

15% x Rp 200.000.000 =Rp 30.000.000

Jumlah PPh yang dipotong Pasal 21 = Rp 32.500.000

 

  1. Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pesangon bertahap.

Pak Mulya menerima uang pesangon dari PT Terbit Jaya secara bertahap, seperti dibawah ini:

PPh Pasal 21 terutang:

  1. Januari 2021 Rp 50.000.000
  2. Januari 2022 Rp 125.000.000
  3. Januari 2023 Rp 100.000.000

– Bulan Januari 2021:

0% x 50.000.000 = Rp 0

– Bulan Januari 2022:

5% x 50.000.000 = Rp 2.500.000

15% x 75.000.000 = Rp 11.250.000

Total pembayaran final PPh Pasal 21 bulan Januari 2022: Rp 13.750.000

– Bulan Januari 2023:  

Karena pesangon kini sudah memasuki tahun ketiga, maka tarif PPh Pasal 21 atas pesangon yang diterima pada Januari 2023 adalah tarif Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf a dan belum bersifat final.

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bulan Januari 2023:

5% dari Rp 60.000.000 = Rp 3.000.000.

15% dari Rp 40.000.000 =Rp 6.000.000.

Pada bulan Januari 2023, total PPh Pasal 21 non final = Rp 9.000.000

Fungsi dan Bagaimana Cara Cek NTPN Ketika Tidak Terbaca

Fungsi dan Bagaimana Cara Cek NTPN Ketika Tidak Terbaca

PT Jovindo Solusi Batam adalah perusahaan yang menyediakan jasa konsultasi perpajakan, kami akan memberi Anda solusi terbaik atas permasalahan perpajakakan Anda. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan membahas Fungsi dan bagaimana cara cek NTPN ketika tidak terbaca. Simak penjelasannya dibawah ini.

NTPN merupakan gabungan rangkaian alfanumerik yang diterbitkan oleh Modul Penerimaan Negara (MPN) yang dapat ditemukan pada bukti penerimaan negara setelah penyetoran pajak berhasil. Langkah pelaporan pajak memerlukan rangkaian alfanumerik ini. Jika ada permasalahan pada NTPN, wajib pajak dapat mencoba menyelesaikannya melalui situs resmi seperti DJP Online.

Apa itu NTPN?

Nomor Transaksi Penerimaan Negara disingkat NTPN, ini merupakan serangkaian gabungan dari 16 digit angka dan huruf milik BPN.

Menurut peraturan perundang-undangan lain, NTPN adalah nomor bukti pembayaran atau penyetoran ke kas negara yang diterbitkan oleh Modul Penerimaan Negara (MPN) atau sistem penerimaan negara yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

Fungsi NTPN

NTPN pada hakikatnya berfungsi sebagai bukti konfirmasi transaksi perpajakan yang telah selesai. Alhasil, petugas pajak akan menerima NTPN yang tertera di BPN, Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Elektronik (SSE), atau surat lainnya. Selain itu, NTPN juga menjadi kebutuhan wajib dalam pengajuan pajak.

NTPN Bermasalah?

Tidak jarang wajib pajak mengalami kendala pada NTPN-nya, misalnya NTPN tidak ditulis dengan benar atau NTPN cepat memudar sehingga nomornya tidak terbaca. Jika Anda tidak bisa membaca NTPN dan memasukkan urutan yang salah, prosedur pelaporan pajak akan terhambat.

Cek Nomor Transaksi Penerimaan Negara

Jika Anda kesulitan memahami nomor transaksi penerimaan negara yang Anda dapatkan, ada banyak pilihan bagi Wajib Pajak untuk memeriksanya, antara lain melalui website DJP Online, SSP e-Billing DJP, dan SSE.

1. Cek Melalui Situs DJP Online

Wajib Pajak dapat melakukan verifikasi NTPN dengan mengunjungi situs resmi DJP Online dan mengikuti langkah-langkah di bawah ini:

  • Kunjungi www.pajak.go.id untuk mengakses halaman web DJP Online.
  • Gunakan user credentials wajib pajak untuk login.
  • Klik menu “Rumah Konfirmasi Dokumen” setelah memilih menu “Layanan”.
  • Pilih “Konfirmasi NTPN” berdasarkan kode billing yang Anda miliki.
  • Masukkan kode penagihan, lalu captcha, lalu klik “Cari”.
  • Situs kemudian akan menampilkan informasi penting seperti kode billing, NTPN, dan sebagainya.

2. Cek Melalui SSP e-Billing

Dengan melihat SSP e-Billing, bisa jadi wajib pajak juga memeriksa NTPN yang tidak terlihat jelas. Halaman ini sering kali menyertakan tanda validasi dari bank, yang dibuat menggunakan peralatan pencetakan laser untuk memastikan keterbacaan.

3. Cek Melalui SSE Pajak

Untuk cek NTPN, wajib pajak juga bisa menggunakan situs SSE Pajak. Begini cara melakukannya:

  • Kunjungi http://sse.pajak.go.id dan login menggunakan user credentials wajib pajak.
  • Setelah login, pilih opsi “View Data” dan kemudian ke menu “Konfirmasi NTPN”.
  • Silahkan filter berdasarkan “Billing/NTPN” untuk melihat data wajib pajak di situs.
  • Wajib Pajak dapat menggunakan cara ini untuk memeriksa NTPN yang tidak terbaca.

NTPN adalah singkatan dari Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang merupakan kombinasi 16 digit angka dan huruf yang tertera pada BPN. Wajib Pajak mungkin sering menemukan NTPN di BPN, SSP, dan SSE. Rangkaian nomor ini berfungsi sebagai bukti keaslian transaksi perpajakan yang telah terjadi. Lebih lanjut, NTPN menjadi syarat yang harus ada saat mengajukan pajak.

Mengetahui Cara Daftar Objek PBB Dan Cek PBB Online

Mengetahui Cara Daftar Objek PBB Dan Cek PBB Online

PT Jovindo Solusi Batam adalah konsultan pajak terpercaya dengan pengalaman yang luas dalam menangani permasalahan perpajakan. Kami bekerja secara professional dan akurat. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait Mengetahui cara daftar objek PBB dan cek PBB online. Berikut informasinya.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah sejenis pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan berdasarkan keuntungan atau kedudukan sosial ekonomi seseorang atau badan yang memiliki atau menerima manfaat darinya. Objek pajak ini dibedakan menjadi dua, yaitu objek bumi dan objek bangunan. Beberapa daerah di Indonesia saat ini telah memiliki layanan pengecekan PBB secara online sehingga memudahkan pemilik tanah dan bangunan dalam menentukan besaran pajak yang terutang.

Pajak Bumi dan Bangunan yang disebut juga PBB merupakan pajak material, artinya besarnya pajak yang terutang ditentukan oleh keadaan objeknya, yaitu bumi dan bangunan, bukan kondisi subjeknya.

Mengenal Objek PBB

Objek PBB dibagi menjadi dua kategori, yaitu objek bumi dan objek konstruksi. Diantara syarat Benda Bumi dan Benda Bangunan adalah:

  • Objek Bumi

Sawah, kebun, tanah, pekarangan, dan tambang

  • Objek Bangunan

Rumah Tinggal, Gedung Usaha, Gedung Bertingkat, Pusat Perbelanjaan, Pagar Mewah, Kolam Renang, Jalan Tol.

Dalam transaksi jual beli tanah, besarnya pajak yang dikenakan akan tergantung pada nilai jual barang pajak, harga rata-rata atau harga pasar.

NJOP objek bumi ditentukan oleh berbagai faktor antara lain letak, penggunaan, peruntukan, dan kondisi lingkungan. Sedangkan NJOP suatu bangunan ditentukan oleh bahan yang digunakan, teknik, letak, dan faktor lingkungan.

Cara Mendaftarkan Objek PBB

Bagi Anda yang ingin mendaftarkan objek PBB, baik perorangan maupun badan, dapat melakukannya di Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Penyuluhan dan Konsultasi Pajak, atau Kantor Penyuluhan dan Konsultasi Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi objek pajak yang akan anda daftar.

Minta Formulir Pemberitahuan Objek Pajak yang gratis di KPP dan KP2KP setempat. Sebelum melakukan pendaftaran objek Pajak Bumi dan Bangunan, pastikan Anda memahami hak dan kewajiban Anda sebagai pendaftar.

Bagaimana Cara Cek PBB Secara Online?

Pengecekan PBB secara online dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui situs resmi pemerintah daerah dan e-commerce.

Melalui Website Resmi Pemerintah Daerah

Uang PBB disalurkan kepada pemerintah daerah seperti provinsi atau kabupaten/kota. Oleh karena itu, setiap kota mempunyai website dimana wajib pajak dapat mengecek PBB-nya. Daftar di bawah ini mencakup beberapa daerah yang sudah menyediakan layanan PBB online.

  • DKI Jakarta: Bapenda Jakarta
  • Depok: PBB-BPHTB Depok
  • Bogor: Bappenda Kab. Bogor
  • Semarang: e-PBB Pemerintah Kota Semarang

Untuk mengetahui apakah daerah Anda sudah memiliki situs resmi pembayaran PBB, masukkan “cekPBB (spasi) nama daerah Anda” di mesin pencarian.

Cara Pembayaran PBB Online Melalui Indomaret

  • Kunjungi website com
  • Akan muncul beberapa pilihan, antara lain “Pulsa dan Paket Data”, “PLN “, “BPJS”, dan lain-lain.
  • Pilih “Selengkapnya”
  • Gerakkan mouse Anda ke tanda panah kanan hingga Anda menemukan menu “Pajak Bumi dan Bangunan” dan pilihlah.
  • Masukkan nomor objek pajak dan bayar tahun tersebut untuk melihat jumlah tagihan. Cukup pilih “bayar” jika Anda ingin terus membayar.

Cara Bayar PBB Online Melalui E-Commerce

Pembayaran e-commerce kini ditawarkan melalui Tokopedia dan Traveloka. Masuk ke aplikasi yang ingin Anda gunakan lalu klik menu PBB. Pilih tahun pajak yang Anda inginkan, masukkan nomor objek pajak, dan ketika muncul jumlah yang harus Anda bayarkan, silakan bayar menggunakan cara yang Anda suka.

Setelah Anda mengetahui cara cek tagihan dan membayar PBB secara online, pastikan untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan tepat waktu karena keterlambatan pembayaran akan dikenakan denda sebesar 2%.

Perjanjian PPh Pasal 26 Atas Premi Asuransi dan Reasuransi yang Dibayar di Luar Negeri

Perjanjian PPh Pasal 26 Atas Premi Asuransi dan Reasuransi yang Dibayar di Luar Negeri

PT Jovindo Solusi Batam adalah perusahaan konsultan pajak yang memiliki keahlian dan berpengalaman dalam menangani berbagai permasalahan perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait Perjanjian PPh pasal 26 atas premi asuransi dan reasuransi yang di bayar di luar negeri. Berikut informasinya.

Asuransi dan reasuransi, pada kenyataannya adalah dua instrumen keuangan yang berbeda namun saling berkaitan. Asuransi adalah suatu perjanjian antara dua pihak, tertanggung dan perusahaan asuransi, dimana tertanggung membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi sebagai imbalan atas perlindungan terhadap potensi kerugian.

Sementara reasuransi adalah suatu perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, dimana perusahaan asuransi membayar premi kepada perusahaan reasuransi sebagai imbalan atas perusahaan reasuransi yang mengasuransikan sebagian atau perusahaan asuransi menanggung semua risiko. Dengan demikian, reasuransi adalah asuransi bagi perusahaan asuransi.

Apa saja ketentuan asuransi dan reasuransi PPh Pasal 26?

Banyak dunia usaha dan masyarakat Indonesia yang memanfaatkan jasa asuransi dan reasuransi yang disediakan oleh perusahaan asing, baik secara langsung maupun melalui pialang. Pembayaran premi asuransi dan reasuransi dalam mata uang asing merupakan jenis transaksi yang melibatkan subjek pajak luar negeri.

Pembayaran premi asuransi dan reasuransi yang dilakukan kepada badan usaha asing dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 dan harus dipotong oleh pihak yang membayar penghasilan tersebut. Tarif pajak PPh berdasarkan Pasal 26 berbeda-beda berdasarkan jenis wajib pajak atau pemotong pajak, yaitu tertanggung, perusahaan asuransi, atau perusahaan reasuransi.

Selain itu, tarif pajak PPh Pasal 26 dapat berubah apabila Indonesia dan negara tempat subjek pajak luar negeri berkedudukan mempunyai perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty. Oleh karena itu, pemahaman terhadap persyaratan PPh Pasal 26 yang berlaku sangat penting bagi pelaku usaha yang melakukan transaksi asuransi dan reasuransi dengan pihak asing.

Berapa tarif dan potongan PPh Pasal 26?

Apabila premi asuransi dan reasuransi dibayarkan di luar negeri, pengurangan pajak penghasilan diberikan berdasarkan Pasal 26. Masa PPh Pasal 26 mewajibkan pemotong pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menyampaikan pemotongan pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Surat Pemberitahuan (SPT).

Besarnya tarif pajak yang sesuai harus diperhitungkan saat memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi yang dilakukan di luar negeri. Kecuali ditentukan lain oleh P3B antara Indonesia dan negara tempat subjek pajak luar negeri berdomisili, tarif pajak PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% dari penghasilan bersih yang diharapkan.

Besarnya perkiraan pendapatan bersih adalah jumlah pendapatan kotor dikurangi pengeluaran wajar dan terkait. Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 624 Tahun 1994 mengatur besaran laba bersih yang diantisipasi.

Terdapat tiga tarif perkiraan pendapatan neto yang berlaku dalam peraturan ini:

  • Atas premi yang dibayarkan oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri secara langsung atau melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah premi yang dibayarkan;
  • Atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri secara langsung atau melalui broker, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayarkan; atau
  • Atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan reasuransi Indonesia kepada perusahaan asuransi luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayarkan.

Jadi, dalam menghitung PPh Pasal 26 atas premi asuransi dan reasuransi yang dibayarkan di luar negeri, tarif efektifnya adalah:

  • Pembayar/pemotong adalah tertanggung = 20% x 50% = 10% x premi
  • Pembayar/pemotong sebagai Perusahaan asuransi = 20% x 10% = 2% x premi
  • Pembayar/pemotong adalah usaha reasuransi = 20% x 5% = 1% dari premi

Misalnya, pada tahun 1995, sebuah perusahaan penyewaan gedung perkantoran membayar premi sebesar Rp 1 miliar kepada perusahaan asuransi di negara lain untuk menutupi bangunan bertingkat.

Menurut KMK, pendapatan bersih perusahaan asuransi internasional diperkirakan 50% x Rp 1 miliar = Rp 500.000.000. Besarnya PPh Pasal 26 yang harus dipotong oleh korporasi pada tahun 1995 adalah: 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (10% x Rp1 miliar).

Pihak yang membayar penghasilan tersebut memberitahukan dan menyerahkan pajak yang dipotong kepada DJP setelah dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi yang dilakukan di luar negeri. Pengisian dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 26 secara elektronik melalui aplikasi e-Filing atau e-Form merupakan cara pembuatan laporan pajak.

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 26 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan setelah masa pajak berakhir. Masa pajak didefinisikan sebagai satu bulan kalender atau sebagian dari satu bulan kalender.

Pembayaran pajak dilakukan melalui Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat dibayarkan di bank atau kantor pos. Penyetoran pajak harus dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan setelah masa pajak berakhir. Yang perlu diingat, PPh Pasal 26 tidak berlaku bagi subjek pajak luar negeri yang menerima pembayaran premi asuransi dan reasuransi di luar negeri serta mempunyai perwakilan tetap (permanent establishment /PE) di Indonesia atau P3B.

PT Jovindo Solusi Batam siap membantu menangani berbagai permasalahan perpajakan Anda. Kami bekerja secara professional, akurat dan teliti. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait e-SKD: Solusi penyampaian SKD WPLN secara elektronika. Simak informasi berikut ini.

Anda wajib memotong atau menyetorkan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sesuai aturan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) jika WPLN menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) WPLN. Pemotong atau pemungut pajak dapat menyampaikan SKD WPLN secara elektronik menggunakan e-SKD.

Apa itu e-SKD?

Fasilitas P3B sebagaimana diketahui dapat memberikan keringanan atau pembebasan pajak di negara sumber, yakni negara asal penghasilan tersebut. Oleh karena itu, SKD WPLN harus diserahkan untuk menunjukkan bahwa WPLN merupakan wajib pajak di negara atau yurisdiksi tersebut.

Pemotong dapat menyampaikan SKD WPLN melalui e-SKD, yaitu aplikasi yang digunakan untuk menyampaikan SKD WPLN dengan memasukkan data SKD berdasarkan Formulir DJP, sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghindaran Persetujuan Pajak Berganda. DJP menyatakan, e-SKD dirancang dan dikembangkan untuk membantu Wajib Pajak dalam membuat data elektronik yang valid dan akurat sebagai bukti pemotongan PPh Pasal 26, serta memudahkan pengurusan SKD WPLN.

“Penyampaian SKD WPLN akan diterbitkan tanda terimanya melalui pemotong dan/atau pemungut pajak atas penyampaian SKD WPLN secara elektronik. Selanjutnya, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak meneruskan bukti penyampaian SKD WPLN kepada WPLN yang bersangkutan,” kata DJP dalam Panduan Pengguna e-SKD, seperti dikutip pajak.com, Minggu (26/11).

Apabila WPLN berbisnis dengan lembaga pemotong dan/atau pemungut pajak lainnya, WPLN selanjutnya dapat menyerahkan salinan tanda terima sebagai pengganti SKD WPLN kepada pemotong dan/atau pemungut pajak lainnya. Pemotong dan/atau pemungut pajak lainnya selanjutnya dapat melakukan pengecekan penyerahan SKD WPLN dengan memindai QR Code pada tanda terima penyampaian SKD WPLN.

Bagaimana langkah-langkah menggunakan e-SKD?

Para pemotong dan pemungut pajak dapat menggunakan aplikasi e-SKD dengan mengunjungi laman resmi DJP Online atau https://eskd.pajak.go.id. Setelah berhasil melakukan login, Anda akan ditampilkan beragam pilihan menu di halaman DJP Online.

Pastikan terlebih dahulu Anda telah memberikan akses terhadap menu profil Wajib Pajak pada program DJP Online dengan mencentang kotak “e-SKD”. Selanjutnya, Wajib Pajak dan Pemotong atau Pemungut dapat menyampaikan SKD WPLN melalui menu e-SKD.

Tampilan muka aplikasi e-SKD akan muncul pada saat Wajib Pajak memilih layanan aplikasi e-SKD. Proses penyampaian SKD WPLN diawali dengan memilih jenis Subyek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang dapat berupa lembaga perbankan atau dana pensiun, orang pribadi, bukan orang pribadi, atau badan lainnya.

Penentuan jenis SPLN harus dicermati karena akan menentukan cara Anda mengisi setiap bagian Formulir DJP. Langkah selanjutnya adalah pencatatan data menggunakan Formulir asli DJP. Formulir DJP dibagi menjadi tujuh bagian. Pengisian setiap bagian Formulir DJP ditentukan oleh jenis SPLN dan berpedoman pada sistem.

Setelah pencatatan Formulir SKD WPLN DJP selesai, dokumen akan diunggah dalam bentuk scan Formulir SKD WPLN DJP dalam bentuk salinan digital dalam format pdf. Perlu disebutkan bahwa ukuran file soft copy ini tidak boleh lebih dari 2 Megabyte.

Selain itu, wajib pajak yang menyampaikan SKD WPLN harus terlebih dahulu mengetahui lokasi file di komputer pribadi (PC) miliknya untuk mengunggah dokumen tersebut. Jika sudah, klik “Start Upload” untuk mulai mengunggah dokumen SKD WPLN. Jika dokumen SKD WPLN berhasil diupload maka akan muncul pesan “Upload PDF File Process has been done”.

Pernyataan yang dilakukan oleh pemotong dan/atau pemungut pajak selaku pihak yang menyampaikan SKD WPLN merupakan tahap terakhir. Tahapan ini dilakukan sejalan dengan sistem perpajakan Indonesia, yaitu self-assessment system.

Kemudian klik “Kirim” untuk menandakan SKD WPLN telah diserahkan dan agar sistem dapat memvalidasi seluruh data yang tercatat dan diunggah. Jika validasi berhasil maka akan muncul pesan “All data have been successfully inserted”.

Penilaian Hukum Sanksi Pajak

Penilaian Hukum Sanksi Pajak

PT Jovindo Solusi Batam siap membantu dalam menangani permasalahan perpajakan Anda. PT Jovindo Solusi Batam memiliki pengalaman luas di bidang perpajakan dan telah bersertifikat resmi.Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan informasi terkait Penilaian hukum sanksi pajak. Simak informasinya berikut ini.

Ketika fiskus melakukan penegakan hukum baik berupa imbauan, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, bahkan penuntutan, maka pembahasan mengenai sanksi perpajakan seakan tidak pernah berhenti. Karena sanksinya dinilai akan memberatkan Wajib Pajak (WP) dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Sekalipun terdapat ruang pengampunan terbuka bagi wajib pajak yang menggunakan sistem self-assessment untuk menjelaskan keadaan sebenarnya, namun penilaian sanksi pajak yang cukup berat harus dipertimbangkan kembali. Sanksi yang ditujukan untuk mendorong wajib pajak agar patuh sering kali dipandang sebagai bagian dari tujuan penerimaan.

Ketika Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP) disahkan, rumusan norma Pasal 27 ayat (5f) memberikan makna yang sulit diperdebatkan tentang makna persetujuan rumusan standar hukuman. Sanksi semakin memberatkan ketika WP mencoba meminta peninjauan kembali dan kemudian kalah, WP dikenakan sanksi 60 persen.

Itu sebabnya, ketika perumusan sanksi administratif sangat terkait dengan rancangan sanksi pidana, maka bahasan mengenai sanksi perpajakan menjadi semakin menarik untuk diteliti. Ketika makna rumusan norma tidak tegas, maka kedua jenis sanksi tersebut menjadi sulit untuk dipilih. Di sisi lain, keadilan dan kepastian hukum masih menjadi mimpi yang bisa dicapai.

Memahami norma undang-undang

Sekalipun pajak merupakan sumber penerimaan utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun Sulit dipenuhi jika wajib pajak tidak memahami standar (aturan) undang-undang. Karena memahami standar hukum jauh lebih penting daripada sekadar menanyakan kesadaran dan kepatuhan. Persoalan ketidakjelasan norma, khususnya metode penegakan hukum (law enforcement), yang masih dipermasalahkan, juga harus segera diatasi.

Memang benar bahwa memahami rumusan norma-norma dalam Undang-Undang ini sulit, terutama mengingat cepatnya perubahan dalam Undang-Undang sehingga menimbulkan tantangan baru dalam memaknainya. Ilustrasi sederhana konsep hukum remedium dan primum remedium, Hal tersebut belum pernah terlihat dalam rumusan aturan baik dalam UU KUP maupun UU UUHPP hingga saat ini. Pada kenyataannya rumusan aturan hukum harus bersifat jelas (lex certa) agar tidak terjadi salah tafsir dalam pelaksanaannya.

Selain itu, masyarakat menyadari bahwa sanksi pajak biasanya dikaitkan dengan kepentingan ekonomi, oleh karena itu pembahasan pajak lebih dari sekedar hukum. Pembelajaran perpajakan seringkali dianggap sebagai bagian dari hukum perekonomian, yang menurut Sri Rejeki Hartono (Johnny Ibrahim, 2009:2) merupakan rangkaian seperangkat peraturan yang mengatur tindakan perekonomian yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi.

Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan perpajakan merupakan suatu norma (aturan) yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yang mengatur berbagai kegiatan perekonomian, termasuk kepatuhan terhadap konsekuensi apabila pelaku ekonomi melakukan pelanggaran terhadap peraturan perpajakan. Secara nominal, besaran sanksi administrasi sebesar 30%, 60%, 100%, bahkan 300% mempunyai nilai ekonomi yang cukup besar bagi pendapatan negara. Jika hal ini terjadi, denda pajak dapat diterapkan berdasarkan faktor kepatuhan atau ekonomi.

Aspek ekonomis semakin terlihat ketika mempertimbangkan besaran sanksi menurut ketentuan kepabeanan, yakni denda yang ditetapkan sebesar Rp5 miliar, Sanksi pidana hingga Rp 100 miliar juga tersedia (Pasal 102 dan 102A UU 10/1995, sebagaimana diubah dengan UU 17/2006).

Jika demikian, maka tidak dapat dipungkiri bahwa politik hukum penulisan peraturan perundang-undangan seringkali didominasi oleh pola pikir yang berpusat pada kepentingan ekonomi. Dalam analisis mikronya, ahli pidana Romli Atmasasmita (2016:218-219) memberikan penilaian terhadap sanksi administrasi dan sanksi pidana, menyatakan pada hakikatnya terdapat inefisiensi yang disebabkan oleh tidak jelasnya syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tindakan administratif yang memenuhi unsur pidana.

Romli menekankan penilaian hukum terhadap sanksi, seraya menambahkan bahwa penyebab utama ketidakpastian adalah penafsiran hukum terhadap kegiatan administratif yang dikenakan sanksi administratif dan tindakan administratif yang seringkali diancam dengan sanksi pidana.

Tingkat Penegakan Hukum

Penilaian hukum terhadap sanksi perpajakan tidak dapat dipisahkan dari penegakan hukum fiskus. Masa penghukuman masa kini nampaknya mulai meninggalkan penekanan pada pengertian keadilan retributif justice (penghukuman). Keadilan restoratif (pemaafan) semakin memberikan warna penegakan hukum yang dicari berbagai pihak.

Bagaimana itu bisa terjadi dalam perpajakan?

Prinsip penyelesaian hukum pidana perpajakan di luar pengadilan telah masuk dalam aturan UU HPP. Namun, ketika muncul keadaan yang diyakini pantas mendapatkan hukuman melalui proses pengadilan, maka gagasan keadilan restoratif terkadang sulit diterapkan. Memang benar, ketika rumusan normanya tidak tepat, pilihan hukum menjadi sulit untuk dijelaskan.

Jika demikian, kita harus mempertimbangkan kembali politik hukum penetapan standar hukuman pajak. Pajak yang akan menjadi sumber utama penerimaan negara memerlukan pertimbangan yang matang agar tuntutan APBN dapat terpenuhi dan masyarakat dapat terinformasi dengan mudah memahami penyusunan standar sanksi dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

Permintaan Pengembalian Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang

Permintaan Pengembalian Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang

PT Jovindo Solusi Batam memiliki pengalaman yang luas di bidang perpajakan dan telah bersertifikat resmi. Kami telah menangani berbagai permasalahan perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Permintaan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang. Berikut informasinya.

Untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, Wajib Pajak wajib memotong, menyetor, dan mengungkapkan bukti pemotongan pajak dari pihak ketiga (mitra transaksi). Namun pada kenyataannya, tidak jarang Wajib Pajak mengalami kesalahan penghitungan atau pemotongan dari mitra transaksi.

Alasan Pengajuan Pengembalian Pajak yang Belum Jatuh Tempo Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 yang menguraikan tentang tata cara pengajuan kembali kelebihan pembayaran pajak yang belum dibayar. Sesuai PMK 187/2015, wajib pajak dapat meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak). Berikut beberapa penyebab kelebihan pembayaran pajak:

Terdapat pembayaran pajak tertentu yang tidak terutang atau tidak seharusnya terutang pajak. 1. Pembayaran pajak yang melebihi jumlah yang terhutang

2. Pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan

3. Pembayaran pajak yang tidak dibayarkan

4. Pembayaran pajak yang berkaitan dengan permintaan untuk menghentikan penyidikan perbuatan melawan hukum di bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B UU KUP yang tidak disetujui

Terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan wajib pajak terkait dengan pajak impor. Pasal 22 PPh impor, PPN impor, dan/atau PPnBM impor yang telah dibayar dan dicantumkan dalam dokumen sebagai berikut: Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Pabean Penetapan, Surat Penetapan Pabean, atau dokumen yang memuat pembatalan impor yang telah mendapat persetujuan pejabat yang berwenang, sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak.
Adanya kesalahan dalam pemotongan atau pemungutan, mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih banyak dari yang seharusnya dipotong atau dipungut. 1. Pemotongan atau pemungutan PPh dimana PPh yang dipotong atau dipungut melebihi PPh yang seharusnya dipotong atau dipungut

2. Pemotongan atau pemungutan PPh atas penghasilan bukan subjek pajak

3. Pemungutan PPN atas pengusaha tidak kena pajak yang melebihi pajak yang harus dikumpulkan; atau

4. Pemungutan PPnBM melebihi pajak yang seharusnya dipungut.

Terdapat kesalahan dalam pemotongan atau pemungutan suatu objek pajak. 1. Pemungutan atau pemotongan PPh yang tidak boleh dipotong atau dipungut

2. Pemungutan PPN yang tidak dipungut

3. Pemungutan PPnBM yang tidak dipungut

Terdapat tambahan pengurangan atau pemungutan pajak penghasilan akibat penggunaan P3B bagi Subjek Pajak Luar Negeri. Pemotongan atau pemungutan PPh yang berlebihan karena kendala pelaksanaan P3B, keterlambatan pemenuhan prosedur administrasi penerapan P3B setelah terjadi pemotongan atau pemungutan, atau Kesepakatan Bersama.

Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengembalian Pajak

Pemohon harus mengajukan permohonan pengembalian pajak secara tertulis dalam bahasa Indonesia, menandatanganinya, dan melampirkan berbagai jenis surat dan data tergantung jenis penggantian kelebihan pembayaran pajak. Apabila permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, maka permohonan tersebut harus disertai dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selanjutnya permohonan penggantian diajukan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau melalui pos/ekspedisi.

Pelaksanaan Penelitian

Berdasarkan permohonan pengembalian tersebut, Direktur Jenderal Pajak kemudian akan menyelidiki kebenaran pembayaran pajak tersebut. Direktur Jenderal Pajak dapat meminta surat-surat dan/atau keterangan kepada pemohon untuk mengetahui kebenaran pembayaran pajak. Laporan hasil penelitian kemudian akan menentukan apakah penelitian yang dimaksud dilakukan atau tidak.

Hasil penelitian

Apabila dalam laporan penelitian ditemukan adanya kelebihan pembayaran pajak yang tidak wajar, Direktur Jenderal Pajak mengirimkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Apabila Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan usaha yang tidak wajib memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka SKPLB yang diberikan NPWP dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Pada 9 digit angka pertama memuat angka 0;
  2. Pada 3 digit tercantum nomor sandi Kantor Pelayanan Pajak tempat pengajuan permohonan;
  3. dan 3 digit terakhir tercantum angka 0.

Direktur Jenderal Pajak kemudian menyampaikan surat pemberitahuan penolakan kepada pemohon apabila tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang tidak boleh terutang dalam laporan penelitian.

Ketentuan Permohonan Pembatalan dan Penghapusan Sanksi Pajak

Ketentuan Permohonan Pembatalan dan Penghapusan Sanksi Pajak

PT Jovindo Solusi Batam telah bersertifikat resmi dan berpengalaman luas dalam menangani permasalahan perpajakan. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Ketentuan permohonan pembatalan dan penghapusan sanksi pajak. Simaklah informasi berikut ini.

Di Indonesia, sistem perpajakan self-assessment telah diterapkan sejak tahun 1984, dimana wajib pajak diberikan kebebasan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan tanggung jawab perpajakannya sendiri.

Human error merupakan salah satu akibat dari penerapan sistem ini, karena penyelenggaraan yang dilakukan secara terpisah seringkali menimbulkan perbedaan penafsiran antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti kesalahan pengisian SPT, ketidaktepatan jumlah pajak yang terutang, keterlambatan pelaporan, dan lain-lain.

Sesuai dengan ketentuan dan peraturan perpajakan, Wajib Pajak yang melakukan kesalahan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif dan pidana. Namun, sebagai bagian dari pelaksanaan keadilan perpajakan, khususnya bagi Wajib Pajak yang melakukan kesalahan yang tidak disengaja, pemerintah menerapkan kebijakan pengurangan atau penghapusan denda.

Kebijakan pengurangan/penghapusan sanksi yang sering disebut dengan Sunset Policy merupakan kesediaan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengajukan permohonan penghapusan sanksi disertai dengan justifikasinya.

Landasan hukum

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.0/2015 tentang Penghapusan Sanksi Administratif Bunga didasarkan pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan mengatur mengenai permohonan penghapusan sanksi.
  • Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mengatur bahwa Wajib Pajak dapat mengurangi atau menghapus sanksi administratif (bunga, denda, kenaikan) apabila hal tersebut disebabkan oleh kesalahan Wajib Pajak dan bukan karena kesalahannya.

Apa Perbedaan Antara Pengurangan dan Penghapusan?

Setelah melakukan pembayaran pajak, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan pemeriksaan kepatuhan terhadap wajib pajak. Apabila ternyata wajib pajak tidak mematuhi aturan perpajakan yang berlaku, maka akan diberikan surat ketetapan pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP).

Wajib Pajak dapat mengirimkan surat permohonan pengurangan atau penghapusan denda apabila:

  • Wajib Pajak berpendapat bahwa perhitungan dalam STP atau SKP tidak benar. Dalam hal ini, wajib pajak dapat mengirimkan surat yang meminta pengurangan sanksi.
  • Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa sanksi yang dikenakan kepadanya tidak patut dikenakan, Wajib Pajak dapat mengajukan surat permohonan agar pembatasan tersebut dihapus.

Mekanisme Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Perpajakan

Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai peraturan terkait, maka DJP akan menerbitkan SKP (Surat Ketetapan Pajak) atau STP (Surat Tagihan Pajak) beserta sanksi administrasi yang harus dibayar.

Apabila besaran sanksi yang tercantum dalam SKP/STP salah dihitung, Wajib Pajak dapat mengirimkan surat permintaan pengurangan sanksi administratif. Sanksi administratif tidak boleh diterapkan, sehingga Wajib Pajak dapat membuat surat permohonan penghapusan sanksi administratif.

Syarat yang harus dipenuhi

Sesuai PMK No. 29/PMK.0/2015, apabila Wajib Pajak ingin mengajukan permohonan pencabutan sanksi, diharapkan memenuhi kriteria berikut:

  • 1 (satu) kali permohonan STP/SKP, Surat Keputusan Ralat, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Jika lebih dari satu surat yang diterbitkan, misalnya lebih dari satu STP, maka hanya satu surat permohonan yang dapat diajukan untuk setiap STP.
  • Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
  • Bukti Setoran Utang Pajak (SSP)
  • Diisi alasan permohonan penghapusan/pengurangan sanksi
  • Lokasi penyerahan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
  • Ditandatangani oleh Wajib Pajak atau bukan Wajib Pajak (harus melampirkan surat kuasa khusus pengacara).

Jenis sanksi administrasi pajak

1. Denda

Sanksi atas kegagalan membayar jumlah tertentu terkait dengan persyaratan pelaporan pajak. Besarnya denda ditentukan oleh pelanggaran dan aturan yang berlaku. Denda dalam UU KUP antara lain:

  • Sanksi apabila tidak menyampaikan SPT Berkala dan/atau SPT Tahunan dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 ayat 3 (pasal 7 ayat 1)
  • Sanksi bagi yang berbohong setelah diperiksa bukti permulaannya (pasal 8 ayat 3A)
  • Sanksi bagi PKP yang tidak menyampaikan faktur pajak, PKP tidak melengkapi faktur pajak secara akurat, lengkap, dan jelas sesuai peraturan perundang-undangan. PKP tidak menerbitkan tagihan pajak berdasarkan tanggal penerbitannya (pasal 14 ayat 4).
  • Sanksi apabila keberatan ditolak/dikabulkan sebagian (Pasal 25 ayat 9).
  • Sanksi apabila permohonan banding ditolak / dikabulkan sebagian (pasal 27 ayat 5D).

 

2. Bunga

Pada umumnya sanksi bunga dikenakan kepada wajib pajak yang gagal memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam UU KUP, sanksi bunga antara lain:

  • Sanksi atas kesalahan Surat Pemberitahuan Tahunan/Masa yang menyebabkan utang pajak bertambah (pasal 8)
  • Sanksi bagi pelaporan ketidakbenaran setelah dilakukan pemeriksaan sebelum diterbitkan SPHP (pasal 8 ayat 5)
  • Sanksi keterlambatan pembayaran pajak (pasal 9 ayat 2A)
  • Sanksi perpajakan atas keterlambatan pembayaran SPT Tahunan PPh (pasal 9 ayat 2B).

 

3. Kenaikan

Konsekuensi yang lebih berat yang dibebankan kepada wajib pajak, sesuai dengan istilahnya, berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar. Secara umum, pembayar pajak yang melanggar komitmen berdasarkan pasal-pasal penting rentan terhadap konsekuensi ini.

  • Sanksi atas pengungkapan SPT yang tidak tepat setelah dua tahun (pasal 8 ayat 5)
  • Sanksi penerbitan SKPKB-T (Pasal 15 ayat 2).
  • Sanksi diberikan berdasarkan Pasal 13 ayat 3 dan
  • Pasal 17C ayat 5.

Jangka Waktu Permohonan Pengurangan/Penghapusan Sanksi

Apabila surat permohonan Wajib Pajak ditolak, maka Wajib Pajak tetap dapat mengajukan permohonan penghapusan/pengurangan sanksi sebanyak satu kali berdasarkan Pasal 36 ayat 1a. Namun perlu diperhatikan, jika wajib pajak ingin mengajukan permohonan tersebut, syaratnya adalah tidak mengajukan upaya hukum lain seperti keberatan atau pembatalan SKP/STP.

Permohonan kedua harus diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah keputusan permohonan pertama. Sesuai UU KUP Pasal 36 ayat 1c, Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan keputusan atas surat permohonan wajib pajak dalam waktu paling lama 6 bulan. Apabila DJP tidak mengeluarkan keputusan dalam jangka waktu tersebut, maka permohonan tersebut dianggap disetujui oleh DJP.

Mencabut Permohonan

Apabila ditemukan kesalahan atau permohonan penghapusan/pengurangan sanksi administrasi perpajakan telah diajukan kepada KPP, Wajib Pajak dapat menarik kembali permohonan penghapusan/pengurangan sanksi administrasi perpajakan dengan cara:

  1. Permohonan ditarik kembali secara tertulis dan dalam bahasa Indonesia. Dalam skenario ini, wajib pajak juga harus memberikan penjelasan khusus atas pencabutan tersebut.
  2. Diserahkan ke KPP terdaftar.
  3. Ditandatangani oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Apabila pemohon diwakili, maka permohonannya harus disertai surat kuasa tertentu.
  4. Apabila permohonan penghapusan/pengurangan sanksi administratif dicabut, maka Wajib Pajak kehilangan kemampuan untuk mengajukan permohonan serupa.

 

Ketentuan Pengungkapan Ketidakbenaran SPT Saat Pemeriksaan Pajak

Ketentuan Pengungkapan Ketidakbenaran SPT Saat Pemeriksaan Pajak

PT Jovindo Solusi Batam akan membantu dan memberikan solusi dalam permasalahan perpajakan Anda. Kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan memberikan informasi terkait Ketentuan pengungkapan ketidakbenaran SPT saat pemeriksaan pajak. Simak penjelasannya berikut ini.

Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrument yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memastikan bahwa wajib pajak telah memenuhi tanggung jawab perpajakannya. Dalam proses pemeriksaan pajak sering ditemukan kesalahan atau kekurangan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan Wajib Pajak. Dalam hal ini, dengan melaporkan pengembalian pajak yang salah pada saat pemeriksaan pajak, wajib pajak dapat memperbaiki masalah tersebut tanpa menghadapi sanksi administratif.

Dalam pemeriksaan pajak, Wajib Pajak mempunyai pilihan untuk mengungkap kesalahan atau kekurangan dalam pengisian SPT yang telah disampaikan sebelumnya, baik bagi Wajib Pajak yang sudah maupun belum membetulkan SPTnya. Pasal 9 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) mengatur pengungkapan ketidakbenaran tersebut.

Tujuan dari pengungkapan ketidakbenaran ini adalah untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada wajib pajak yang bersedia memperbaiki kesalahannya, serta untuk meningkatkan kepatuhan dan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan. Pengungkapan ketidakbenaran tersebut juga merupakan salah satu jenis sistem self-assessment, yaitu sistem perpajakan yang mengharuskan wajib pajak menghitung, membayar, dan melaporkan tanggung jawab perpajakannya sendiri.

Bagaimana ketentuan pengungkapan ketidakbenaran saat pemeriksaan pajak?

Untuk melakukan pengungkapan ketidakbenaran dalam pemeriksaan pajak, Wajib Pajak harus memenuhi ketentuan DJP, yaitu sebagai berikut:

  1. Wajib Pajak dapat menyatakan kebenaran pengisian SPT yang telah disampaikan dalam laporan tertulis tersendiri, sesuai dengan keadaan sebenarnya, sebelum pemeriksa pajak memberikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Batas waktu tersebut diperpendek dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebelumnya, batas waktu pengungkapan SPT yang tidak akurat saat pemeriksaan mungkin sebelum diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP).
  2. Wajib Pajak harus menandatangani laporan tertulis tersendiri yang memuat:
  • Perhitungan kurang pajak berdasarkan keadaan sebenarnya yang terutang;
  • Surat Setoran Pajak (SSP) untuk pelunasan pajak yang belum dibayar; Dan
  • Sanksi administratif berupa bunga (SSP).
  1. Laporan pengungkapan ketidakbenaran tersebut harus memuat data dan informasi yang lengkap dan benar mengenai kesalahan atau kekurangan yang dinyatakan oleh Wajib Pajak, serta bukti-bukti pendukung, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam pasal 61 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/ 2013 hingga PMK No.18/2021. Wajib Pajak atau kuasanya juga harus menandatangani laporan yang mengungkapkan ketidakbenaran.
  2. Membayar pajak yang tidak dibayar akibat pengungkapan ketidakbenaran, serta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tingkat bunga bulanan yang ditetapkan Menteri Keuangan, dalam jangka waktu 24 bulan.
  3. Tidak terlibat dalam penyelesaian sengketa perpajakan atau penegakan hukum perpajakan.

Apabila wajib pajak memenuhi seluruh ketentuan tersebut, maka wajib pajak dapat mengajukan pengaduan ke DJP dengan mengungkapkan ketidakbenaran yang ditemukan selama pemeriksaan pajak dengan menggunakan cara formal yang telah disediakan. Penting untuk diingat bahwa meskipun wajib pajak berinisiatif untuk mengungkap ketidakbenaran, UU HPP menggarisbawahi bahwa hal ini tidak dapat menghalangi proses pemeriksaan untuk tetap berjalan.

Apa akibat dari pengungkapan ketidakbenaran saat pemeriksaan pajak?

  • Pajak yang masih harus dibayar lebih besar atau lebih kecil;
  • Kerugian berdasarkan ketentuan perpajakan lebih besar atau lebih kecil;
  • Jumlah harta lebih besar atau lebih kecil; atau
  • Jumlah modal lebih besar atau lebih kecil selama proses pemeriksaan berlangsung.

Tergantung pada jenis dan tingkat keparahan kesalahan atau kekurangan yang dilaporkan, pengungkapan ketidakbenaran selama pemeriksaan pajak dapat bermanfaat atau merugikan wajib pajak. Apabila Wajib Pajak menemukan kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan kurang bayar pajak, maka Wajib Pajak harus membayar selisih pajak ditambah bunga sebesar tingkat bunga bulanan yang ditetapkan Menteri Keuangan dalam jangka waktu 24 bulan.

Namun, wajib pajak tidak akan menghadapi konsekuensi administratif seperti biaya pajak yang belum dibayar sebesar 2% setiap bulan, yang biasanya dikenakan jika wajib pajak gagal mengungkapkan kebohongan. Akibatnya, pelaporan kebohongan dapat menghemat uang pembayar pajak dari sanksi administratif.

Sebaliknya, apabila Wajib Pajak mengungkapkan kesalahan atau kekurangan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, maka Wajib Pajak berhak memperoleh pengembalian atau pengembalian pajak ditambah bunga sebesar tingkat bunga bulanan yang ditentukan oleh Menteri Keuangan untuk suatu jangka waktu. hingga 24 bulan. Namun, wajib pajak harus menunggu DJP menyelesaikan prosedur verifikasi dan validasi atas laporan keterbukaan yang disampaikannya. Akibatnya, pengungkapan ketidakbenaran dapat memperkuat hak wajib pajak untuk mendapatkan reparasi.

Selain itu, kebohongan saat pemeriksaan pajak juga dapat berdampak pada kerugian, harta, dan modal wajib pajak. Selisih antara penerimaan kena pajak dan biaya yang dapat dikurangkan dari pajak disebut kerugian.

Harta merupakan hak wajib pajak atas segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Selisih antara harta dan kewajiban Wajib Pajak disebut dengan modal. Apabila Wajib Pajak menemukan kesalahan atau cacat yang menyebabkan kerugian menjadi lebih kecil atau lebih besar, maka jumlah kerugian yang dapat dibayar dengan penghasilan kena pajak pada tahun berikutnya akan terpengaruh.

Namun, apabila wajib pajak menemukan kesalahan atau cacat yang menyebabkan harta menjadi lebih besar atau lebih kecil, maka nilai harta dan kewajiban wajib pajak akan terpengaruh. Apabila Wajib Pajak menemukan kekurangan atau kekurangan yang menyebabkan modal menjadi lebih besar atau lebih kecil, maka keadaan dan stabilitas keuangan Wajib Pajak akan terganggu.