Mengenal Pengertian Dari Corresponding Adjustment Serta Prosedur Penerapannya

PT Jovindo Solusi Batam merupakan perusahaan jasa yang melayani sebuah jasa berupa jasa konsultasi pada bidang perpajakan. Pada artikel ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan tentang Mengenal Pengertian Dari Corresponding Adjustment Serta Prosedur Penerapannya. Berikut ini penjelasannya.

Pengertian dari corresponding adjustment

Menurut PMK No. 240 Tahun 2014 yang berisi tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure), corresponding adjustment merupakan penyesuaian dari penghasilan kena pajak Wajib Pajak (WP) suatu negara ataupun yurisdiksi oleh otoritas pajak negara maupun yurisdiksi tersebut sebagai akibat koreksi transfer pricing yang dilakukan otoritas pajak negara atau yurisdiksi lainnya (primary adjustment), sehingga alokasi dari penghasilan pada kedua negara ataupun yurisdiksi tersebut konsisten sama tujuan untuk menghilangkan pengenaan pada pajak berganda.

Di Pasal 40 PMK No.172 Tahun 2023, penyesuaian keterkaitan bisa dilakukan dalam hal, sebagai berikut ini:

  • Penentuan dari harga transfer oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP); atau
  • Koreksi penentuan untuk harga transfer oleh otoritas pajak mitra persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) terhadap subjek pajak luar negeri, yang akan menyebabkan terjadinya pengenaan pada pajak berganda.

Penyesuaian pada keterkaitan ini merupakan penyesuaian materi untuk penentuan harga transfer saat penghitungan penghasilan kena pajak WP didalam negeri yang merupakan lawan transaksi:

  • WP didalam negeri yang dilakukan penentuan pada harga transfer oleh DJP; atau
  • Subjek pajak luar negeri yang akan dilakukan koreksi penentuan harga transfer oleh otoritas pajak mitra P3B. Penyesuaian keterkaitan ini harus dilakukan dengan melalui MAP.

Penyesuaian dari keterkaitan harus dilakukan dengan:

  • Pembetulan dari Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) dengan cara memperhitungkan penentuan untuk harga transfer oleh DJP—sepanjang WP didalam negeri belum dilakukan sebuah pemeriksaan;
  • Penerbitan untuk Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan cara mempertimbangkan penentuan harga transfer oleh DJP—sepanjang terhadap WP didalam negeri sedang dilakukan sebuah pemeriksaan terpenuhi; atau
  • Pembetulan pada SKP dengan cara mempertimbangkan penentuan harga untuk transfer oleh DJP—sepanjang WP didalam negeri sudah diterbitkan SKP serta tidak mengajukan upaya hukum terhadap materi penyesuaian keterkaitan terpenuhi.

Prosedur untuk melakukan penyesuaian keterkaitan adalah sebagai berikut ini:

  • Didahului dengan pemberitahuan yang secara tertulis WP didalam negeri yang merupakan lawan transaksi ke DJP dengan melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar mengenai informasi pada penentuan harga transfer; dan
  • Pemberitahuan yang secara tertulis serta pengungkapan terhadap ketidakbenaran pengisian SPT bisa disampaikan secara langsung, dengan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, ataupun jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, atau secara elektronik (apabila sistem telah tersedia).

Formulir 1721-A3 Mulai Digunakan Di Masa Pajak Juni

PT Jovindo Solusi Batam merupakan perusahaan jasa yang melayani sebuah jasa konsultasi di bidang perpajakan. Pada artikel ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan tentang Formulir 1721-A3 Mulai Digunakan Di Masa Pajak Juni. Berikut ini penjelasannya.

Pemotongan pada PPh Pasal 2 bulanan dengan menggunakan formulir 1721-A3 untuk instansi pemerintah yang mulai berlaku di masa pajak Juni 2024.

Otoritas pajak juga menerbitkan peraturan baru, yakni Peraturan Ditjen Pajak No. PER-5/PJ/2024, yang mengatur tentang tata cara pembuatan bukti pemotongan untuk instansi pemerintah. Didalam peraturan itu, DJP memperkenalkan sebuah formulir baru yang berupa 1721-A3.

Bukti potong pada PPh Pasal 21 bulanan form 1721-A3 dibuat instansi pemerintah ketika sedang melakukan pemotongan PPh atas penghasilan yang sehubungan sama pekerjaan atau jabatan selain pada masa pajak terakhir.

Pemotongan pajak harus memberikan sebuah bukti potong pada PPh Pasal 21 bulanan form 1721-A3 ke pegawai tetap, pensiunan, PNS, anggota TNI/Polri, pejabat negara, atau pensiunannya paling lama 1 bulan setelah masa pajak berakhir.

PER-5/PJ/2024 mulai berlaku pada masa pajak dibulan Juni 2024. Selain mengenai formulir 1721-A3, ada pula ulasan mengenai insentif pajak untuk PNS di Ibu Kota Nusantara (IKN) hingga laporan hasil pemeriksaan BKP mengenai LKPP 2023.

Tidak Adanya Pembayaran Penghasilan, Bupot 21/26 Tidak Perlu Dibuat

Bupot dengan 21/26 instansi pemerintahan tidak perlu lagi dibuat kalau ada pembayaran penghasilan.

Ketentuan ini diatur di Pasal 4 ayat (1) PER-17/PJ/2021 s.t.d.d. PER-5/PJ/2024. Didalam ketentuan sebelumnya, bupot dengan 21/26 instansi pemerintah tidak perlu lagi dibuat dalam hal tidak terdapatnya pemotongan PPh.

PNS Hingga Anggota TNI/Polri Dapat Insentif Pajak Di IKN

PNS, anggota TNI/Polri, sampai pejabat negara yang bertugas di IKN juga berhak mendapat fasilitas PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) serta bersifat final.

Menurut Pasal 124 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 28/2024, fasilitas pada PPh Pasal 21 DTP diberikan terhadap penghasilan selain penghasilan tetap dan juga teratur yang berasal dari APBN/APBD.

Laporan Hasil Pemeriksaan BKP Terkait LKPP 2023

BKP menyampaikan ada 14 temuan pemeriksaan di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintahan Pusat (LKPP) 2023.

Beberapa temuan serta rekomendasi yang disampaikan BKP didalam LKP LKPP 2023 antara lain terkait sama perbaikan pelaporan keuangan dan juga kinerja pemerintah, penyelesaian masalah PPh dan PPN, penyaluran DAU, tata kelola atas pelaksanaan prefunding, dan juga mekanisme rekening penampungan akhir tahun anggaran (RPATA).

Insentif Pajak Dirilis, BI Optimistis Penempatan DHE SDA Makin Besar

Bank Indonesia (BI) memprediksi penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) didalam negeri akan makin ramai seiring diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) NO, 22/2024.

Deputi Gubernur Senior BI mengatakan kalau PP 22/2024 sudah lama dibicarakan dan dinantikan oleh para eksportir SDA. Menurutnya, pemberian pada insentif pajak ini akan membuat penempatan DHE SDA didalam negeri lebih menarik.

Dukungan Optimalisasi Penerimaan Negara, BPKP Sumbang RP 38,75 Triliun

Badan Pengendalian Keuangan dan Pembangunan mengklaim berhasil dalam berkontribusi pada keuangan negara melalui penyelamatan keuangan, penghematan belanja, dan juga optimalisasi penerimaan senilai Rp310,36 triliun.

Kepala Badan Pengendalian Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga mengatakan kalau kontribusi pada keuangan negara dicapai lewat beragam kegiatan pengawasan yang dilakukan dari 2020 hingga kuartal l/2024.

Mengenal Apakan WP Yang Baru Daftar NPWP Orang Pribadi Tidak Perlu Melakukan Pemadanan NIK

PT Jovindo Solusi Batam merupakan perusahaan jasa yang melayani jasa berupa jasa konsultasi serta akuntansi di bidang perpajakan. Pada artikel ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan tentang Mengenal Apakan WP Yang Baru Daftar NPWP Orang Pribadi Tidak Perlu Melakukan Pemadanan NIK. Berikut ini penjelasannya.

Wajib Pajak (WP) yang baru mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tidak perlu melakukan pemadanan pada Nomor Induk Kependudukan (NIK)-NPWP karena sudah dilakukannya pemadanan secara otomatis oleh Ditjen Pajak (DJP).

Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 112/PMK.13/2022, DJP mengaktivasi NIK sebagai NPWP untuk WP orang pribadi (OP) yang sudah melakukan pendaftaran NPWP sejak 8 juli 2022.

Sampai 7 mei 2024, ada 67,8 juta NIK yang sudah dipadankan menjadi NPWP untuk WP OP.

Penyuluh dari Pajak Ahli Pertama DJP mengatakan kalau realisasi tersebut setara 91,82% dari jumlah WP OP didalam negeri. DJP akan terus mengimbau WP untuk melakukan pemadanan NIK sebagai NPWP.

Semenjak 1 juli 2024, NIK resmi digunakan sebagai NPWP untuk WP OP dalam negeri. Hali ini diatur didalam PMK 136/2023. Saat ini NIK sudah bisa digunakan sebagai NPWP meski masih terbatas.

Menurut PENG-6/PJ.09/2024, NIK saat ini sudah bisa digunakan untuk pembuatan bukti potong dari PPh, pembuatan faktur pajak, serta pelaporan informasi keuangan yang secara otomatis domestic.

NIK juga dapat digunakan untuk pembuatan bukti potong dari PPh WP OP sepanjang NIK yang dimaksud diadministrasikan oleh Ditjen Kependudukan serta Pencatatan Sipil (Dukcapil) dan juga sudah terintegrasi sama sistem DJP.

Mengenal aturan untuk Jasa Pembangunan Apakah Pasang AC Termasuk Kena PPh Final

PT Jovindo Solusi Batam merupakan perusahaan yang melayani di bidang yang berkaitan sama perpajakan, kami menyediakan layanan jasa yakni jasa akuntansi serta konsultasi permasalahan didalam perpajakan. Pada artikel ini, PT Jovindo Solusi Batam akan membahas Mengenal aturan untuk Jasa Pembangunan Apakah Pasang AC Termasuk Kena PPh Final. Berikut pembahasannya.

PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Penghasilan dari jasa konstruksi, termasuk juga instalasi AC, yang diperoleh wajib pajak (WP) yang memiliki izin ataupun sertifikat pengusaha konstruksi merupakan sebuah objek PPh final berdasarkan pada PPh Pasal 4 ayat (2).

Menurut Pasal 2 ayat (6) PP 9/2022, jasa dari pekerjaan konstruksi yang dikenai PPh final Pasal 4 ayat (2) mencakup pada kegiatan yang meliputi dari pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaraan, dan juga pembangunan kembali suatu bangunan.

Terkait sama instalasi AC, penghasilan dari jasa itu juga akan dipotong PPh final Pasal 4 ayat (2) sepanjang penerima penghasilan merupakan WP yang ruang lingkupnya dibidang konstruksi dan juga mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha dalam bidang konstruksi.

Apabila WP yang bersangkutan tidak mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi maka penghasilan dari instalasi AC akan dikenai PPh Pasal 23. Adapun ketentuan itu diatur didalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/2015.

Terdapat beberapa tarif PPh final Pasal 4 ayat (2) atas jasa pada pekerjaan konstruksi dan/atau jasa konsultasi konstruksi yang ditetapkan untuk WP yang mempunyai seritifikat badan usaha.

  1. Tarif yang sebesar 1,75% untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang mempunyai sertifikat badan usaha kualifikasi kecil ataupun sertifikat kompetensi kerja atau usaha orang perseorangan.
  2. Tarif yang sebesar 2,65% untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan penyedia jasa yang mempunyai sertifikat badan usaha.
  3. Tarif yang sebesar 3,5% untuk jasa konsultasi konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang mempunyai sertifikat badan usaha ataupun sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan.

Mengenal Pajak Subjektif Dan Pajak Objektif Serta Perbedaannya

PT Jovindo Solusi Batam merupakan Perusahaan yang melayani pada bidang jasa yang berkaitan sama perpajakan, kami menyediakan layanan jasa yang berupa jasa akuntansi dan juga konsultasi permasalahan. Artikel kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan membahas Mengenal Pajak Subjektif Dan Pajak Objektif Serta Perbedaannya. Berikut pembahasannya.

Definisi Pajak Subjektif

Pajak subjektif merupakan pengenaan pajak ke WP terhadap dasar orang pribadi ataupun badan sebagai pihak yang berkewajiban untuk malakukan kegiatan perpajakannya.

Subjek pajak menjadi pihak yang mendapat hak perpajakan serta yang akan dikenai pajak. Berdasar pada Pasal 2A UU No. 36 Tahun 2008 terkait Pajak Penghasilan (PPh) dijelaskan bahwa maksud dari subjek pajak yaitu:

  • Orang pribadi (OP) serta untuk warisan yang dinyatakan masih belum terbagi untuk dikategorikan sudah menggantikan yang berhak
  • Badan (dalam negeri atau luar negeri)
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Contoh Pajak Subjektif

Contoh pajak subjektif yang mudah ditemui adalah Pajak Penghasilan (PPh). PPh adalah pajak yang dikenakan ke penghasilan individu atau entitas yang mendapat pendapatan dari berbagai sumber, yakni seperti gaji, bisnis, investasi, ataupun kegiatan lainnya. Besarannya bervariasi tergantung pada jumlah penghasilan yang akan diterima.

Definisi Pajak Objektif

Pajak objektif merupakan sebuah jenis pajak yang besarnya ditentukan dari karakteristik ataupun nilai objek pajak itu sendiri, bukan karena karakteristik subjek yang membayar pajak. Dalam pajak ini, tarif pajak biasanya akan ditetapkan berdasar pada nilai ataupun jenis objek tertentu yang dikenai pajak, yakni seperti penjualan barang ataupun properti, dengan tanpa memperhitungkan keadaan ataupun status dari individu atau entitas yang terlibat di transaksi itu.

Pajak objektif adalah semacam pajak yang bergantung sama nilai ataupun jenis objek pajaknya, dan tarif pajaknya telah ditetapkan terlepas dari siapa yang akan membayar pajak itu.

Contoh Pajak Objektif

  • Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN merupakan sebuah pajak yang dibebankan ke WP OP maupun badan yang sudah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) terhadap transaksi jual beli barang ataupun jasa.

  • Pajak Kekayaan

Pajak kekayaan akan dikenakan ke individu ataupun entitas yang memiliki kekayaan tertentu, yakni seperti properti, investasi, ataupun aset lainnya. Pajak ini biasa dihitung dengan berdasarkan pada nilai kekayaan yang dimiliki subjek itu.

  • Pajak Warisan dan Hibah

Pajak ini akan dikenakan ke penerimaan warisan ataupun hibah tertentu oleh individu ataupun entitas. Besarannya akan bergantung ke nilai dari warisan ataupun hibah yang diterima.

  • Pajak Penjualan Barang Mewah

Pajak ini akan dikenakan ke pembelian barang-barang mewah, yakni seperti mobil mewah, perhiasan, yacht, serta barang-barang lain yang mempunyai nilai tinggi. Besarannya biasanya akan ditetapkan sebagai persentase dari nilai barang yang akan dibeli.

  • Pajak Penjualan Properti

Pajak ini akan dikenakan ke penjualan properti, baik itu sebuah tanah atau bangunan. Besarannya dapat bervariasi dengan berdasarkan pada nilai transaksi serta peraturan perpajakan setempat.

Kewajiban Pajak Objektif

Kewajiban dari pajak objektif adalah tanggung jawab dari individu ataupun entitas untuk membayar pajak dengan berdasarkan pada karakteristik ataupun nilai objek pajak, bukan berdasarkan pada karakteristik subjek yang akan membayar pajak. Dalam kewajiban pajak ini, subjek yang terlibat di transaksi ataupun mempunyai objek pajak itu memiliki tanggung jawab dalam membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

Seperti, dalam pajak penjualan, kewajiban pajak objektif terletak di pembeli barang ataupun jasa yang harus membayar pajak terhadap pembelian. Begitu pun di pajak properti, pemilik properti mempunyai kewajiban untuk membayar pajak pada kepemilikan terhadap properti.

Kewajiban pajak objektif muncul karena regulasi perpajakan yang menetapkan kalau objek tertentu akan dikenakan pajak sesuai aturan yang berlaku, dan juga subjek yang terlibat di objek pajak itu mempunyai tanggung jawab untuk membayarkan pajaknya.

Perbedaan antara Pajak Subjektif dan Pajak Objektif

  1. Dasar Perhitungan
    • Pajak Subjektif: Besarnya pajak ini bergantung ke karakteristik ataupun keadaan subjek yang akan dikenai pajak, yakni seperti penghasilan, kekayaan, ataupun transaksi spesifik subjek.
    • Pajak Objektif: Besarnya pajak ini ditentukan dari nilai ataupun karakteristik objek pajak itu sendiri, tidak dipengaruhi karakteristik subjek yang akan membayar pajak.
  2. Contoh Pajak
    • Pajak Subjektif: PPh, pajak kekayaan, pajak warisan, serta pajak hadiah.
    • Pajak Objektif: PPN, pajak penjualan, pajak properti, pajak terhadap transaksi keuangan, serta pajak terhadap konsumsi barang mewah.
  3. Faktor Penentu Besarnya Pajak
    • Pajak Subjektif: Besarnya pajak ini bergantung sama faktor-faktor seperti penghasilan, kekayaan, ataupun transaksi spesifik subjek yang akan membayar pajak.
    • Pajak Objektif: Besarnya pajak ini ditentukan nilai ataupun jenis objek pajak itu, tanpa memperhitungkan keadaan ataupun karakteristik dari subjek yang akan membayar pajak.
  4. Tanggung Jawab Pemenuhan Kewajiban Pajak
    • Pajak Subjektif: Kewajiban pajak ini ada di subjek yang mempunyai karakteristik atau melakukan transaksi yang akan dikenai pajak.
    • Pajak Objektif: Kewajiban pajak ini ada di pemilik objek pajak atau pihak yang terlibat didalam transaksi yang akan dikenakan pajak.

Mengenal Pajak Subjektif Dan Pajak Objektif Serta Perbedaannya

PT Jovindo Solusi Batam merupakan Perusahaan yang melayani pada bidang jasa yang berkaitan sama perpajakan, kami menyediakan layanan jasa yang berupa jasa akuntansi dan juga konsultasi permasalahan. Artikel kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan membahas Mengenal Pajak Subjektif Dan Pajak Objektif Serta Perbedaannya. Berikut pembahasannya.

Definisi Pajak Subjektif

Pajak subjektif merupakan pengenaan pajak ke WP terhadap dasar orang pribadi ataupun badan sebagai pihak yang berkewajiban untuk malakukan kegiatan perpajakannya.

Subjek pajak menjadi pihak yang mendapat hak perpajakan serta yang akan dikenai pajak. Berdasar pada Pasal 2A UU No. 36 Tahun 2008 terkait Pajak Penghasilan (PPh) dijelaskan bahwa maksud dari subjek pajak yaitu:

  • Orang pribadi (OP) serta untuk warisan yang dinyatakan masih belum terbagi untuk dikategorikan sudah menggantikan yang berhak
  • Badan (dalam negeri atau luar negeri)
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Contoh Pajak Subjektif

Contoh pajak subjektif yang mudah ditemui adalah Pajak Penghasilan (PPh). PPh adalah pajak yang dikenakan ke penghasilan individu atau entitas yang mendapat pendapatan dari berbagai sumber, yakni seperti gaji, bisnis, investasi, ataupun kegiatan lainnya. Besarannya bervariasi tergantung pada jumlah penghasilan yang akan diterima.

Definisi Pajak Objektif

Pajak objektif merupakan sebuah jenis pajak yang besarnya ditentukan dari karakteristik ataupun nilai objek pajak itu sendiri, bukan karena karakteristik subjek yang membayar pajak. Dalam pajak ini, tarif pajak biasanya akan ditetapkan berdasar pada nilai ataupun jenis objek tertentu yang dikenai pajak, yakni seperti penjualan barang ataupun properti, dengan tanpa memperhitungkan keadaan ataupun status dari individu atau entitas yang terlibat di transaksi itu.

Pajak objektif adalah semacam pajak yang bergantung sama nilai ataupun jenis objek pajaknya, dan tarif pajaknya telah ditetapkan terlepas dari siapa yang akan membayar pajak itu.

Contoh Pajak Objektif

  • Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN merupakan sebuah pajak yang dibebankan ke WP OP maupun badan yang sudah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) terhadap transaksi jual beli barang ataupun jasa.

  • Pajak Kekayaan

Pajak kekayaan akan dikenakan ke individu ataupun entitas yang memiliki kekayaan tertentu, yakni seperti properti, investasi, ataupun aset lainnya. Pajak ini biasa dihitung dengan berdasarkan pada nilai kekayaan yang dimiliki subjek itu.

  • Pajak Warisan dan Hibah

Pajak ini akan dikenakan ke penerimaan warisan ataupun hibah tertentu oleh individu ataupun entitas. Besarannya akan bergantung ke nilai dari warisan ataupun hibah yang diterima.

  • Pajak Penjualan Barang Mewah

Pajak ini akan dikenakan ke pembelian barang-barang mewah, yakni seperti mobil mewah, perhiasan, yacht, serta barang-barang lain yang mempunyai nilai tinggi. Besarannya biasanya akan ditetapkan sebagai persentase dari nilai barang yang akan dibeli.

  • Pajak Penjualan Properti

Pajak ini akan dikenakan ke penjualan properti, baik itu sebuah tanah atau bangunan. Besarannya dapat bervariasi dengan berdasarkan pada nilai transaksi serta peraturan perpajakan setempat.

Kewajiban Pajak Objektif

Kewajiban dari pajak objektif adalah tanggung jawab dari individu ataupun entitas untuk membayar pajak dengan berdasarkan pada karakteristik ataupun nilai objek pajak, bukan berdasarkan pada karakteristik subjek yang akan membayar pajak. Dalam kewajiban pajak ini, subjek yang terlibat di transaksi ataupun mempunyai objek pajak itu memiliki tanggung jawab dalam membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

Seperti, dalam pajak penjualan, kewajiban pajak objektif terletak di pembeli barang ataupun jasa yang harus membayar pajak terhadap pembelian. Begitu pun di pajak properti, pemilik properti mempunyai kewajiban untuk membayar pajak pada kepemilikan terhadap properti.

Kewajiban pajak objektif muncul karena regulasi perpajakan yang menetapkan kalau objek tertentu akan dikenakan pajak sesuai aturan yang berlaku, dan juga subjek yang terlibat di objek pajak itu mempunyai tanggung jawab untuk membayarkan pajaknya.

Perbedaan antara Pajak Subjektif dan Pajak Objektif

  1. Dasar Perhitungan
    • Pajak Subjektif: Besarnya pajak ini bergantung ke karakteristik ataupun keadaan subjek yang akan dikenai pajak, yakni seperti penghasilan, kekayaan, ataupun transaksi spesifik subjek.
    • Pajak Objektif: Besarnya pajak ini ditentukan dari nilai ataupun karakteristik objek pajak itu sendiri, tidak dipengaruhi karakteristik subjek yang akan membayar pajak.
  2. Contoh Pajak
    • Pajak Subjektif: PPh, pajak kekayaan, pajak warisan, serta pajak hadiah.
    • Pajak Objektif: PPN, pajak penjualan, pajak properti, pajak terhadap transaksi keuangan, serta pajak terhadap konsumsi barang mewah.
  3. Faktor Penentu Besarnya Pajak
    • Pajak Subjektif: Besarnya pajak ini bergantung sama faktor-faktor seperti penghasilan, kekayaan, ataupun transaksi spesifik subjek yang akan membayar pajak.
    • Pajak Objektif: Besarnya pajak ini ditentukan nilai ataupun jenis objek pajak itu, tanpa memperhitungkan keadaan ataupun karakteristik dari subjek yang akan membayar pajak.
  4. Tanggung Jawab Pemenuhan Kewajiban Pajak
    • Pajak Subjektif: Kewajiban pajak ini ada di subjek yang mempunyai karakteristik atau melakukan transaksi yang akan dikenai pajak.
    • Pajak Objektif: Kewajiban pajak ini ada di pemilik objek pajak atau pihak yang terlibat didalam transaksi yang akan dikenakan pajak.

Mengenal Apa Alasan DJP Ingatkan WP untuk Simpan Dokumen Pembukuan

PT Jovindo Solusi Batam merupakan Perusahaan yang melayani jasa pada bidang perpajakan, kami menyediakan layanan jasa, yakni berupa jasa akuntansi serta konsultasi permasalahan dalam perpajakan. Artikel kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan membahas tentang Mengenal Apa Alasan DJP Ingatkan WP untuk Simpan Dokumen Pembukuan. Berikut ini pembahasannya.

Dalam Pasal 28 UU KUP mengatur agar Wajib Pajak (WP) menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar dari pembukuan ataupun pencatatan.

Selain buku serta catatan, dokumen lain yang termasuk dalam hasil pengelolaan data dari pembukuan yang dikelola dengan secara elektronik ataupun online juga wajib untuk disimpan selama 10 tahun di Indonesia.

Menurut Pasal 28 UU KUP, penyimapanan buku, catatan, dan juga dokumen pembukuan ataupun pencatatan dimaksudkan agar kalau dirjen pajak (DJP) akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan ataupun pencatatan yang diperlukan masih tetap ada serta dapat segera disediakan.

Kurun waktu 10 tahun penyimpanan buku, catatan, dan juga dokumen pembukuan ataupun pencatatan juga sesuai sama ketentuan yang mengatur tentang batas kadarluwarsa dalam penyidikan tindak pidana pada bidang perpajakan.

Pasal 39 UU KUP juga menegaskan untuk setiap orang yang dengan sengaja tidak menyimpan buku, catatan, dan juga dokumen yang menjadi dasar pembukuan ataupun pencatatan dan juga dokumen lainnya sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara akan dipidana penjara paling cepat 6 bulan dan paling lamanya 6 tahun.

Pidana juga berupa sebuah denda yakni yang paling sedikit 2 kali dari jumlah pajak terutang yang tidak ataupun kurang bayar dan untuk yang paling banyaknya 4 kali dari jumlah pajak terutang yang tidak ataupun kurang bayar.

Mengenal Apa Alasan DJP Ingatkan WP untuk Simpan Dokumen Pembukuan

PT Jovindo Solusi Batam merupakan Perusahaan yang melayani jasa pada bidang perpajakan, kami menyediakan layanan jasa, yakni berupa jasa akuntansi serta konsultasi permasalahan dalam perpajakan. Artikel kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan membahas tentang Mengenal Apa Alasan DJP Ingatkan WP untuk Simpan Dokumen Pembukuan. Berikut ini pembahasannya.

Dalam Pasal 28 UU KUP mengatur agar Wajib Pajak (WP) menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar dari pembukuan ataupun pencatatan.

Selain buku serta catatan, dokumen lain yang termasuk dalam hasil pengelolaan data dari pembukuan yang dikelola dengan secara elektronik ataupun online juga wajib untuk disimpan selama 10 tahun di Indonesia.

Menurut Pasal 28 UU KUP, penyimapanan buku, catatan, dan juga dokumen pembukuan ataupun pencatatan dimaksudkan agar kalau dirjen pajak (DJP) akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan ataupun pencatatan yang diperlukan masih tetap ada serta dapat segera disediakan.

Kurun waktu 10 tahun penyimpanan buku, catatan, dan juga dokumen pembukuan ataupun pencatatan juga sesuai sama ketentuan yang mengatur tentang batas kadarluwarsa dalam penyidikan tindak pidana pada bidang perpajakan.

Pasal 39 UU KUP juga menegaskan untuk setiap orang yang dengan sengaja tidak menyimpan buku, catatan, dan juga dokumen yang menjadi dasar pembukuan ataupun pencatatan dan juga dokumen lainnya sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara akan dipidana penjara paling cepat 6 bulan dan paling lamanya 6 tahun.

Pidana juga berupa sebuah denda yakni yang paling sedikit 2 kali dari jumlah pajak terutang yang tidak ataupun kurang bayar dan untuk yang paling banyaknya 4 kali dari jumlah pajak terutang yang tidak ataupun kurang bayar.

Mengenal Apa Itu Pajak Sewa Gedung dan Bangunan

PT Jovindo Solusi Batam merupakan Perusahaan yang melayani di bidang perpajakan, kami menyediakan layanan jasa berupa jasa akuntansi dan juga konsultasi masalah perpajakan. Artikel kali ini, PT Jovindo Solusi Batam akan menjelaskan tentang Mengenal Apa Itu Pajak Sewa Gedung dan Bangunan. Berikut ini penjelasannya.

Penjelasan Apa itu Pajak Sewa Bangunan

Pajak sewa bangunan merupakan sebuah pajak atas transaksi ataupun pada penghasilan yang didapat dari persewaan tanah dan/atau bangunan.

Berikut ini jenis persewaan tanah dan/atau bangunan, yakni:

  • Sebuah tanah
  • Sebuah rumah
  • Sebuah rumah susun
  • Sebuah apartemen
  • Sebuah kondominium
  • Sebuah gedung perkantoran
  • Sebuah pertokoan
  • Sebuah gedung pertemuan dan juga termasuk bagiannya
  • Sebuah rumah kantor
  • Sebuah toko
  • Sebuah rumah toko
  • Sebuah gudang
  • Sebuah bangunan industri

Sebagai pihak yang berkepentingan didalam melakukan sebuah transaksi, baik sebagai penyewa atau yang menyewakan, sebaiknya memahami apa saja ketentuan pengenaan dalam pajaknya.

Karena, baik pihak penyewa atau yang menyewakan sama-sama mempunyai kewajiban perpajakan atas sewa tanah dan juga bangunan yang dikelola.

Apa Saja Jenis Pajak didalam Sewa-menyewa Bangunan?

Jenis pajak yang dikenakan sewa bangunan di antaranya, berikut ini:

  • Terdapat didalam PPh Pasal 4 ayat 2
  • Terdapat didalam PPN

Ketentuan dari pengenaan pajak sewa bangunan diatur didalam UU No. 36 Tahun 2008 yang berisi tentang Pajak Penghasilan dan juga UU No. 42 Tahun 2009 yang berisi tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang mana keduanya sudah diperbarui terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2021 yang berisi tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Selain itu juga diatur didalam peraturan pelaksana perpajakan lainnya, seperti didalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2017 yang berisi tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.

Berikut ini ketentuan pengenaan pajak terhadap sewa gedung atau bangunan beserta tarif pajaknya:

  1. PPh 4 ayat 2 sewa bangunan
  • Untuk tarif PPh yang digunakan untuk sewa bangunan dan/atau tanah akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) bersifat final yang sebesar 10% dari semua jumlah bruto nilai sewa tanah dan/atau bangunannya.
  • Pihak dari penyewa diharuskan memotong PPh Final 4(2) dan juga diharuskan memberi bukti pemotongan pajaknya kepada pemilik gedung dan/atau bangungan, serta menyetor pemotongan pajaknya ke dalam kas negara.
  • Penyewa diwajibkan untuk memotong PPh 4(2) sewa bangunan dan/atau tanahnya apabila penyewa merupakan penyelenggara dari kegiatan, kerja sama operasi, BUT, badan pemerintahan, Perwakilan Dari Perusahaan Luar Negeri, orang pribadi (OP) yang ditetapkan oleh DJP.
  • Jika penyewa adalah wajib pajak (WP) pribadi ataupun bukan subjek pajak, maka pemilik wajib untuk membayar sendiri PPh Final 4(2) atas penghasilan dari menyewakan yang diperolehnya.
  1. PPN sewa bangunan
  • Tarif PPN untuk sewa bangunan sama dengan tarif PPN yang saat ini adalah sebesar 11% dari keseluruhan semua biaya sewa.
  • Pemilik dari tanah dan/atau bangunan harus memungut PPN dan juga menerbitkan Faktur Pajak serta menyetorkan hasil pemungutan pajaknya sampai melaporkan SPT Masa PPN.