Konsultan Pajak Batam-Saat ini sangat banyak masyarakat yang mau menggunakan jasa layanan ini untuk menyelesaikan pengajuan PPN, pelaporan pajak online, untuk layanan pelaporan pajak tahunan di Jakarta, Bali dan di Surabaya, dan di daerah lain yang terkait dengan pajak. Nah, kali ini Konsultan Pajak Batam akan memberikan uraian tentang “Main Aset Kripto? Begini Ketentuan Pajaknya!”
Anda adalah seorang investor ataupun trader aset kripto? Selama ini bertanya-tanya seperti apa perlakuan pajak atas aset kripto? Mau patuh pajak, namun bingung dengan kepastian hukumnya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sering kali menggelayuti benak para pemain aset kripto yang ada di Indonesia. Padahal, perkembangan dunia aset kripto di tanah air dalam beberapa tahun terakhir ini luar biasa pesat. Untuk gambarannya, pada tahun 2020, nilai transaksi dari aset digital berbasis teknologi blockchain ini hanya sebesar Rp69,9 triliun. Pada tahun 2021, nilainya melonjak tinggi menjadi sebesar Rp859,4 triliun. Selanjutnya, selama Januari sampai Maret 2022 saja, nilai transaksinya sudah mencapai Rp130,2 triliun, dengan 11,2 juta investor (Kemendag, 2022).
Tetapi, saat ini segala kerisauan di atas tampaknya telah terjawab. Ya, baru-baru ini pemerintah telah menerbitkan peraturan yang mengatur tentang perlakuan pajak atas aset kripto. Peraturan yang dimaksud tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (PMK-68/PMK.03/2022). Beleid ini diharapkan bisa memberikan keadilan, kepastian hukum, dan juga kesederhanaan bagi para pemain aset kripto terkait dengan kewajiban perpajakannya.
Objek PPN dan PPh
Perlu untuk dipahami, bahwa pengaturan mengenai pajak atas aset kripto ini bukan merupakan jenis pajak baru. Melainkan pengenaan pajaknya tetap saja berdasarkan atas jenis pajak yang sudah ada selama ini, contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan juga Pajak Penghasilan (PPh). Yang diatur di sini adalah mekanisme pemungutan pajaknya saja. Jadi, tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum dan juga kesederhanaan tadi.
Berdasarkan Pasal 1 angka 14 PMK-68/PMK.03/2022, aset kripto merupakan komoditi tidak berwujud yang bentuk-nya berupa aset digital, dengan menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan juga buku besar yang terdistribusi, guna mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan untuk mengamankan transaksi tanpa adanya campur tangan pihak lain. Berdasarkan atas definisi tersebut, aset kripto ini memenuhi kriteria sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yakni berupa Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPN beserta dengan perubahannya).
Berikutnya, pada pasal 5 PMK-68/PMK.03/2022 mengatur bahwa atas penyerahan aset kripto dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan besaran tertentu, yaitu sebesar 1 persen (bila transaksi tersebut dilakukan lewat exchanger yang terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan), atau sebesar 2 persen (bila transaksi tersebut dilakukan lewat exchanger yang tidak terdaftar di Bappebti) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana yang telah diatur dalam UU PPN beserta dengan perubahannya. Jadi dengan kata lain, untuk sekarang ini, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan aset kripto yakni sebesar 0,11 persen atau sebesar 0,22 persen dari nilai transaksi aset kripto, tergantung pada transaksi yang dilakukan, apakah lewat exchanger yang terdaftar di Bappebti atau tidak.
Ada pula penghasilan dari perdagangan aset kripto tersebut yakni objek Pajak Penghasilan (PPh). Karena, di sana ada tambahan kemampuan ekonomis yang memenuhi definisi penghasilan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPh beserta dengan perubahannya).
Kemudian, pada pasal 21 PMK-68/PMK.03/2022 mengatur bahwa penjual aset kripto dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 Final atas penghasilan dari perdagangan aset kripto yang dilakukan tersebut, baik itu jual beli dengan mata uang fiat, swap, ataupun tukar-menukar dengan barang lain atau jasa. Untuk besarannya, yaitu sebesar 0,1 persen (bila transaksi tersebut dilakukan lewat exchanger yang terdaftar di Bappebti) atau sebesar 0,2 persen (jika transaksi tersebut dilakukan lewat exchanger yang tidak terdaftar di Bappebti) dari nilai transaksi aset kripto.
Pajak Pertamabhan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Final di atas harus dipungut oleh exchanger yang menjadi fasilitator dalam transaksi perdagangan aset kripto tersebut. Atas pemungutan ini, exchanger harus menerbitkan bukti pemotongan atau pemungutan unifikasi kepada para pihak yang bertransaksi, dalam hal tersebut pembeli dan juga penjual aset kripto.
Kemudian, exchanger wajib untuk menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Final tersebut ke kas negara paling lambat-nya pada tanggal 15 bulan berikutnya. Selanjutnya, exchanger wajib untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN 1107 Put (Modifikasi) dan juga SPT Masa PPh Unifikasi paling lambat-nya 20 hari setelah masa pajak berakhir (pada tanggal 20 bulan berikutnya).
Seperti yang sudah diuraikan di atas, transaksi perdagangan aset kripto ini mencakup jual beli aset kripto dengan mata uang fiat, swap (tukar-menukar) antar-aset kripto, dan juga tukar-menukar aset kripto dengan barang lain atau jasa. Dengan begitu, Pajak Pertambahan Nilai itu dikenakan kepada pihak yang menerima (pembeli) aset kripto. Kemudian, untuk Pajak Penghasilan Pasal 22 Final dikenakan kepada pihak yang melepas (penjual) aset kripto.