Cara Memanfaatkan Insentif Pajak Covid-19

Cara Memanfaatkan Insentif Pajak Covid-19

Sebagai Kantor Konsultan Pajak yang menyediakan layanan kantor konsultan pajak terbaik, kantor konsultan pajak terdekat, konsultan pajak, konsultan pajak murah, konsultan pajak online, konsultan pajak perorangan, konsultan pajak terbaik, konsultan pajak terbaik di indonesia, konsultan pajak terdaftar, dan konsultan pajak terdekat yang terdapat di berbagai kota seperti Jakarta, Medan, Bali, Surabaya dan kota lainnya yang tentunya masih dalam dunia perpajakan. Kali ini kita akan membahas tentang Tips Memanfaatkan Insentif Pajak Covid-19 yang berguna bagi seluruh masyarat indonesia.

Pemerintah merilis aturan baru tentang insentif pajak bagi wajib pajak terkena Covid-19. Maksud dari kebijakan ini adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110/PMK.03/2020 mengenai Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 mengenai Insentif Pajak bagi Wajib Pajak Terkena Corona Virus Disease 2019. Sampai saat ini pemerintah sudah empat kali menerbitkan kebijakan ini dengan hal  yang sama. Setidaknya, terdapat dua hal pokok yang menjadi materi dalam PMK Nomor 110/PMK.03/2020. Pertama, insentif pajak penghasilan (PPh) bagi jasa konstruksi tertentu. Kedua, perubahan besaran nilai insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25, yang awalnya 30% menjadi 50%.

Insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50% berlaku mulai Juli 2020. Tetapi, banyak wajib pajak yang terlanjur menyetor PPh Pasal 25 masa pajak Juli 2020 dengan menggunakan pengurangan angsuran seperti masa pajak sebelumnya sebesar 30%. Mereka menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan insentif ini dengan besaran pengurangan angsuran yang sama. Ini terjadi karena salinan PMK Nomor 110/PMK.03/2020 baru diterima belakangan, selang beberapa waktu setelah kebijakan ini  terbit. Konsekuensinya yaitu akan terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 25 masa pajak Juli 2020.

Contoh pertanyaan: Apakah yang harus kita lakukan terhadap kelebihan penyetoran PPh Pasal 25 masa pajak Juli 2020 ini?

Ajukan Permohonan Pemindahbukuan

Hal pertama yang dapat dipilih wajib pajak yakni mengajukan permohonan pemindahbukuan. Pemindahbukuan yaitu proses memindahkan setoran pajak dari suatu jenis pajak, masa pajak, dan objek pajak ke jenis pajak, masa pajak, dan objek pajak lainnya sebab adanya kelebihan atau kesalahan penyetoran pajak. Maka, kelebihan penyetoran PPh Pasal 25 masa pajak Juli 2020 bisa diajukan pemindahbukuan ke PPh Pasal 25 masa pajak sesudah Agustus 2020. Semetara itu, jika kelebihannya ingin didistribusikan ke masa Agustus 2020, bisa dihitung sebagai pengurang pembayaran masa.

Mengajukan permohonan pemindahbukuan ke kantor pelayanan pajak (KPP) tempat dimana wajib pajak terdaftar. Permohonan harus dilampiri dengan surat setoran pajak (SSP) atau bukti penerimaan negara (BPN). Permohonan bisa diajukan secara langsung atau dikirim melalui pos. Jangka waktu penyelesaiannya maksimal 30 hari mula dari berkas diterima lengkap oleh KPP. Apabila permohonan sudah memenuhi ketentuan, KPP akan menerbitkan bukti pemindahbukuan kepada wajib pajak.

Ajukan Permohonan Pengembalian Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang

Hal lain yang dapat dipilih wajib pajak yakni mengajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam PMK Nomor 187/PMK.03/2015 mengenai Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang. Pasal 2 dan Pasal 3 kebijakan ini mengungkapkan bahwa permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang bisa diajukan apabila ada pembayaran pajak yang lebih besar dari pajak yang terutang. Dengan ini, kelebihan penyetoran PPh Pasal 25 masa pajak Juli 2020 dapat diselesaikan dengan metode ini.

Permohonan pengembalian pajak yang harusnya tidak terutang diajukan ke KPP tempat dimana wajib pajak terdaftar. Permohonan harus dilampiri beberapa dokumen penting. Pertama, asli SSP atau BPN. Kedua, perhitungan pajak yang harusnya tidak terutang menurut wajib pajak. Ketiga, alasan untuk melakukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang.

Setelah itu, KPP akan melakukan penelitian atas permohonan yang diajukan wajib pajak. Apabila permohonan memenuhi ketentuan, maka terbitlah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Kemudian, KPP akan meminta rekening dalam negeri yang akan dipakai  wajib pajak untuk menerima pengembalian dana. Terakhir, KPP akan membuat Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) sebagai aturan pengembalian dana terhadap wajib pajak.

Biarkan Saja

Terakhir yang dapat dipilih wajib pajak yakni membiarkan saja kelebihan penyetoran PPh Pasal 25 masa pajak Juli 2020. Terdengar aneh tapi ada yang berpikir wajib pajak akan rugi jika kelebihan penyetoran dibiarkan saja. “Diskon” yang diberikan pemerintah sebanyak 50% rugi kalau hanya di pakai 30%. Hal yang perlu diperhatikan :

Pertama, kita perlu memahami latar belakang diberikannya insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25. Pada masa pandemi Covid-19 ini, banyak wajib pajak yang mengalami kesulitan arus kas. Demi kesulitan ini bisa teratasi, pemerintah memberikan suatu insentif yang bersifat “menunda” pembayaran pajak lewat pengurangan angsuran PPh Pasal 25. Wajib pajak akan mempunyai ruang gerak dalam mengatur arus kas untuk kelangsungan usahanya.

Selanjutnya, penggunaan istilah “diskon” pada insentif PPh Pasal 25 tidak tepat dan harus  ditinggalkan. Kengapa? Karena akan menimbulkan bias pemahaman bagi wajib pajak. Pasalnya, insentif ini adalah pengurangan angsuran, bukan pengurangan/diskon pajak ataupun pajak ditanggung pemerintah (DTP). Sifatnya hanya “menunda”. Maka, wajib pajak tidak akan dirugikan pada saat menyetor angsuran PPh Pasal 25 dengan pengurangan sebesar 30%, bukan 50%. Nanti, di akhir tahun besarnya PPh terutang akan sama saja. Perbedaanya terletak hanya pada arus kas. Jika angsuran PPh Pasal 25 yang dibayarkan lebih besar, maka PPh kurang bayar di akhir tahun nanti akan menjadi lebih kecil. Dan sebaliknya, jika angsuran PPh Pasal 25 yang dibayar lebih kecil, maka PPh kurang bayar di akhir tahun menjadi lebih besar.

Mari simak contoh kasus berikut ini :

PT Ekspres menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2019 pada 15 April 2020. Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak 2020 sebanyak Rp100 juta. Namun, PPh Pasal 25 masa pajak Desember 2019 sebanyak Rp80 juta. PT Ekspres juga telah menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25 pada 14 Mei 2020 sehingga insentif dapat dimanfaatkan mulai April 2020. Di akhir tahun 2020, diketahui jumlah PPh Terutang PT Ekspres sebanyak Rp1 miliar. Di tahun pajak 2020, tidak terdapat kredit pajak selain PPh Pasal 25. Untuk pajak Juli 2020, PT Ekspres terlanjur menyetor PPh Pasal 25 sebanyak Rp70 juta pada 14 Agustus 2020 dan menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan insentif pada 19 Agustus 2020. Sehingga, ada kelebihan penyetoran sebesar Rp20 juta.

Opsi 1: PT Ekspres mengajukan permohonan pemindahbukuan.

Angsuran PPh Pasal 25 Januari s/d. Maret 2020 : 3 x Rp. 80 juta = Rp. 240 juta

Angsuran PPh Pasal 25 April s/d Juni 2020: 3 x (100%-30%) x Rp. 100 juta = Rp. 210 juta

Angsuran PPh Pasal 25 Juli 2020: (100%-50%) x Rp. 100 juta = Rp. 50 juta

Angsuran PPh Pasal 25 Agustus s.d. Desember 2020: 5 x (100%-50%) x Rp. 100 juta = Rp. 250 juta

PPh Terutang         :  Rp1.000.000.000,00

Kredit Pajak           :  Rp750.000.000,00

PPh Kurang Bayar:  Rp250.000.000,00

Opsi 2: PT Ekspres mengajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang.

(Perhitungan sama persis dengan opsi 1)

Opsi 3: PT Ekspres membiarkan saja kelebihan penyetoran PPh Pasal 25 masa pajak Juli 2020.

Angsuran PPh Pasal 25 Januari s/d. Maret 2020  : 3 x Rp. 80 juta = Rp. 240 juta

Angsuran PPh Pasal 25 April s/d. Juni 2020 : 3 x (100%-30%) x Rp100 juta = Rp. 210 juta

Angsuran PPh Pasal 25 Juli 2020: (100%-30%) x Rp. 100 juta = Rp. 70 juta

Angsuran PPh Pasal 25 Agustus s.d. Desember 2020: 5 x (100%-50%) x Rp. 100 juta = Rp. 250 juta

PPh Terutang        :  Rp1.000.000.000,00

Kredit Pajak          :  Rp770.000.000,00

PPh Kurang Bayar:  Rp230.000.000,00

Pada opsi pemindahbukuan dan opsi pengembalian pajak yang harusnya tidak terutang  lebih menguntungkan secara arus kas. Demikian, biaya kepatuhan kedua opsi itu lebih tinggi daripada biaya kepatuhan pada opsi “membiarkan saja”. Mengapa bisa terjadi? Apabila memilih salah satu dari kedua opsi itu, wajib pajak perlu melakukan pembetulan laporan realisasi pemanfaatan insentif. Namun, hal itu tidak perlu dilakukan apabila wajib pajak memilih opsi “membiarkan saja”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *